Berita mengenai Konflik Suriah kembali menghangat usai serangan yang dilancarkan oleh pemerintah Rezim Suriah Bashar al-Assad ke kota Aleppo beberapa waktu lalu. Dunia pun kembali berempati dan bereaksi, khusunya dunia Islam termasuk Indonesia dengan melakukan berbagai aksi kemanusiaan seperti menggalang dana bantuan, demonstrasi menuntut gencatan senjata bahkan hingga pada tingkat yang paling ekstrem yaitu dengan pergi langsung ke lokasi konflik untuk bergabung dengan para milisi pemberontak yang disana. Semua itu berlandaskan pada satu nafas niat dan tujuan, yaitu sebagai bentuk solidaritas sesama saudara seiman dan atas nama kemanusiaan. Perang saudara yang telah berlangsung elama lebih dari 4 tahun ini memang telah menimbulkan banyak kehancuran dan luka yang mendalam.
Lebih dari 500 ribu nyawa telah melayang mulai dari anak-anak, wanita bahkan lanjut usia, sementara 11 juta warga suriah harus rela meninggalkan harta dan tempat tinggalnya untuk mengungsi ke berbagai negara. Dunia pun ikut mengutuk atas pembantaian yang dilakukan oleh rezim yang begitu kejam bahkan di luar nalar manusia. Sementara pimpinan dunia (PBB) hanya diam dan membisu melihat tragedi kemanusia yang sedang berlangsung hingga sekarang di Suriah seolah-olah tidak tahu apa yang sedang terjadi atau hanya menganggap seolah-olah perang itu hal yang biasa terjadi. Suriah sebagai negara tua dengan penuh sejarah peradaban yang mengagumkan dan bahkan kota Aleppo yang sempat menjadi pusat pasar perdagangan dunia itupun kini telah berubah hancur lebur dan mencekam bak kota hantu yang menyeramkan.
Melacak akar masalah peperangan di Suriah memang begitu ruwet, karena sesungguhnya konflik timur tengah tidak hanya terjadi di negara tua ini saja. Timur tengah sepertinya memang selalu menjadi pusat perhatian dunia di abad 21 ini. Bukan hanya sekedar dikarenakan konflik yang melanda negara-negara Arab saja, namun juga selain karena Timur Tengah merupakan pusat energi dunia karena memiliki kandungan cadangan minyak yang melimpah, juga dianggap sebagai pusat jantung Islam bagi umat Islam.
Sejarah orang-orang Arab memang selalu dipenuhi dengan peristiwa peperangan dari masa ke masa. Philip K. Hitti seorang Professor sastra semit dari Universitas Prince-ton menyebut peristiwa peperangan di negara-negara Arab dengan istilah ayyam al-‘Arab (keseharian orang-orang Arab). Istilah yang penulis anggap ‘dramatis’ itu memang didasarkan pada sebuah fakta bahwa konflik dan peperangan sepertinya memang sudah menjadi sebuah kultur yang mendarah daging bagi bangsa-bangsa Arab.
Seorang dosen dari UIN Sumatera Utara Fakultas Dakwah dan Komunikasi yaitu Winda Kustiawan, MA dalam salah satu ceramahnya yang penulis ikuti juga mengatakan hal yang demikian, bahwa kebiasaan masyarakat Arab pra-Islam memang sering terlibat konflik dan peperangan antar suku, bisanya disebabkan karena sengketa tanah, ternak ataupun sumber mata air. Namun pasca datangnya ajaran Islam yang dibawakan oleh nabi Muhammad SAW ternyata juga tak membuat tradisi peperangan hilang sepenuhnya dari masyarakat Arab. Bahkan sejarah peradaban Islam sekalipun yang dibangun mulai dari menumpahkan darah juga banyak tercatat dibuku-buku sejarah.Â
Sebutlah salah satu contoh ketika dinasti Khilafah Abbasiyah merebut kekuasaan wilayah dari dinasti Khilafah Umayyah, seluruh keluarga kesultanan Bani Umayyah dibantai hingga tak bersisa, kecuali Abdul Rahman al-Dakhil yang berhasil lolos dari kejaran Bani Abbasiyah dan melarikan diri ke Andalusia (Spanyol) dan mendirikan Dinasti Umayyah jilid II disana.
Sejarah ini membuktikan bahwa tradisi Peperangan sebenarnya memang sudah menjadi sebuah tradisi yang mendarah daging didalam genetik Masyarakat Arab. Di abad modern seperti sekarang ini, tradisi itu kembali kambuh pasca terjadinya perang dunia I dan II. Sejak runtuhnya Kekhalifahan Utsmani di Turki, Inggris memberikan sepotong tanah jajahannya yaitu Palestina kepada Israel yang kemudian menjadi sebuah negara Israel Raya. Berdirinya eksistensi negara Yahudi itu ditengah-tengah jantung Negara-negara Islam telah mengkambuhkan kembali konflik negara-negara Arab dan berbagai kepentingan yang ada dibaliknya. Iran VS Arab Saudi!!Ya, kedua negara terbesar di Timur Tengah yang menganut dua Mazhab yang berbeda ini menjadi aktor utama dalam pertarungan politik dan pengaruh (hegemoni) kekuasan atas Timur Tengah.Â
Bukan tanpa sebab, pasalnya sebelum terjadinya Revolusi Iran pada tahun 1979 hubungan negara kerajaan Ibn Saud dengan Dinasti Pahlavi (nama Kerajaan Iran sebelum Revolusi) bisa dibilang cukup akur dan berada dibawah kendali Barat, bahkan Iran sempat mengakui Kedaulatan Israel atas Amerika. Hingga akhirnya pada tahun 1979 terjadi peristiwa Revolusi yang dipimpin oleh seorang tokoh yang dijuluki sebagai Imam Besar Revolusi Ayatollah Rahullah Khameini berhasil menumbangkan Rezim dinasti Pahlevi yang dipimpin oleh Sultan Muhammad Reza Shah Pavlavi yang sekaligus menandai berakhirnya kerajaan Iran.
Setelah Dinasti Pahlavi tumbang, para tokoh Revolusi kemudian memproklamirkan sebuah Negara Republik Islam Iran dan berbalik arah melawan Barat dengan bersekutu dengan Komunis Uni Soviet. Dari sinilah kemudian awal sejarah konflik perebutan pengaruh kekuasaan itu dimulai. Gesekan dendam dan keangkuhan peradaban sejarah pun kembali dihangatkan dan dimunculkan kepermukaan, setidaknya ada tiga negara yang telah menorehkan pretasi peradaban besar dan ingin kembali menorehkan impian tersebut, yaitu Arab Saudi dengan kerajaan Ibn al-Saud di Nejd, Iran dengan Kerajaan Persia Agung, dan Turki dengan Khilafah Utsmaniyah.Â
Akan tetapi Turki kurang begitu diperhitungkan sejak sekularisme menjalar di tubuh Pemerintahan tersebut pasca runtuhnya Khilafah Utsmaniyah yang didalangi oleh Mustafa Kemal Attaturk yang kemudian berdampak pada kejatuhan ekonomi serta kesenjangan sosial yang akut di negara tersebut. Justru yang lebih dominan untuk berkesempatan menyebarkan pengaruh politik adalah Arab saudi vs Iran. Perseteruan kedua negara ini kemudian mendalangi terjadinya Proxy War (perang dingin) yang berkepanjangan di negara-negara Timur Tengah tersebut.
Keangkuhan dan egoisme sejarah menjadikan mereka ingin menjadi satu-satunya negara adidaya yang paling berpengaruh di negara kawasan yang melimpah akan cadangan minyak tersebut. Maka tak ayal kedua negara ini saling berebutan ‘kue’ pengaruh di kawasan dan mulai menanamkannya di Dunia Islam di mulai dari negara-negara Timur Tengah. Berbagai pihak pun menuding bahwa kedua negara ini yang melatar belakangi terjadinya konflik di berbagai negara di Timur Tengah dengan beragam spekulasi yang hampir serupa.Â