RUU Penyiaran. RUU ini menjadi perhatian publik karena banyak mengandung pasal-pasal karet dengan pemaknaan yang bersifat subjektif, bukan objektif. Hal ini menjadi rancu karena pada hakikatnya, sebuah undang-undang tidak boleh subjektif, karena akan menjadi sangat bias ketika digunakan dalam putusan sidang. Hakim berhak menentukan benar-salah berdasarkan pemaknaan pasal tersebut olehnya.Â
Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan isu pengesahanMisalnya saja, Pasal 50B ayat 2 huruf (k) yang berbunyi, "Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme." Pasal ini sangat berpotensi digunakan oleh pejabat politik serta para pemangku kepentingan negara karena tidak ada parameter mutlak terkait apa yang bisa disebut sebagai pencemaran nama baik. Mereka bisa saja membungkam kritik yang dilayangkan kepada mereka melalui pasal tersebut dengan mengatakan kritik tersebut merupakan pencemaran nama baik.
RUU Penyiaran banyak dikecam oleh masyarakat dan kalangan jurnalis karena dirasa akan membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat oleh jurnalis ataupun kalangan masyarakat. Berbagai konsolidasi sudah dilakukan oleh aktivis dan jurnalis untuk membatalkan RUU ini. Jika RUU ini berhasil disahkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengulang kembali zaman Orde Baru di mana kebebasan pers sangat terbatas. Ketakutan ini bukan tanpa alasan karena terdapat banyak pasal-pasal karet di dalamnya.
Polemik ini berawal dari isu bahwa DPR hendak menggantikan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan, menjelaskan bahwa revisi UU Penyiaran berawal dari persaingan politik antara lembaga berita melalui platform terestrial versus jurnalisme platform digital. Melalui beleid revisi UU ini, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan terlibat dalam setiap konten lembaga penyiaran terestrial. Sederhananya, saat ini, KPI dan Dewan Pers tidak memiliki wewenang terhadap platform digital, kecuali lembaga jurnalistik yang hendak menggunakan platform digital mendaftarkan diri ke Dewan Pers. Namun, KPI tidak akan terlibat dalam pengawasan konten lembaga jurnalistik tersebut di platform digital.Â
Dengan adanya RUU Penyiaran ini, KPI akan terlibat dalam pengawasan setiap konten di platform digital. Hal tersebut dimuat dalam Pasal 8A ayat (1) RUU Penyiaran yang menyebutkan bahwa KPI dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 Ayat (1) huruf (q) berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Sekilas, keterlibatan KPI bukan menjadi suatu masalah karena KPI hanya bertugas sebagai badan pengawas. Akan tetapi, isi dari RUU Penyiaran yang membuat rancangan undang-undang ini dikecam dan ditentang oleh masyarakat, apalagi keterlibatan masyarakat sangat kurang dalam penyusunan RUU ini.
Salah satu poin dalam draft RUU Penyiaran yang paling dikecam oleh masyarakat dan jurnalis adalah tentang larangan penayangan jurnalisme investigasi. Larangan tersebut dimuat dalam Pasal 50B Ayat (2) huruf c, yang mengatakan bahwa Standar Isi Siaran (SIS) melarang penayangan eksklusif hasil produk jurnalistik investigasi yang dinilai sangat bertentangan dengan Pasal 4 huruf q UU yang menyatakan bahwa tidak ada lagi ruang penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan karya jurnalistik, termasuk liputan jurnalisme investigasi.Â
Dengan adanya pasal ini, jurnalis yang hendak meliput investigasi tentang sebuah kasus/tragedi bisa dipersulit dengan adanya larangan ini. Bayangkan saja, terdapat kasus korupsi yang menimpa badan kementerian yang melibatkan banyak orang dan perputaran uang yang sangat besar. Jurnalis yang sebelumnya memiliki wewenang sebebas-bebasnya untuk melakukan liputan investigasi tanpa ada ancaman oleh pihak manapun karena dilindungi oleh UU Pers, akan dipersulit dengan adanya RUU Penyiaran ini.Â
Pihak-pihak yang terlibat dan memiliki kepentingan-kepentingan tertentu bisa saja menuntut atau mengancam jurnalis tersebut agar tidak melakukan liputan investigasi. Padahal, jurnalis menjadi salah satu dari sedikit sumber yang dapat dipercaya oleh masyarakat ketika ada kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik di badan kementerian.Â
Dengan begitu, kita sebagai masyarakat akan kesulitan untuk menemukan pihak-pihak yang terlibat dan bagaimana proses keterlibatannya karena jurnalisme investigasi dibatasi. Belum lagi, jika terdapat sengketa/konflik yang melibatkan tokoh-tokoh adat di dalamnya.Â
Sering kali konflik adat, seperti sengketa tanah dengan pemerintah, melibatkan aparatur sipil yang tidak jarang memakan korban dalam prosesnya. Jurnalis yang hendak melakukan investigasi bisa saja dilarang, sehingga publik hanya akan mendapat informasi terkait konflik tersebut melalui pihak pemerintah yang berpotensi pada misinformasi fakta yang sebenarnya terjadi.
Selain larangan jurnalisme investigasi, dengan adanya RUU Penyiaran ini, kebebasan dari konten-konten di platform digital, baik yang berasal dari lembaga jurnalisme maupun dari konten kreator, berpotensi semakin dikekang. Terdapat kemungkinan konten-konten yang ada di platform digital berujung seperti penyiaran di siaran analog, seperti televisi, radio, dan siaran analog lainnya dengan adanya keterlibatan KPI. Hal ini akan mempersulit para konten kreator untuk lebih kreatif di platform milik mereka karena setiap konten yang hendak mereka buat perlu persetujuan dari pihak KPI terlebih dahulu sebelum membagikannya ke dunia maya.Â