Sudah tiga hari hasil Quick Count Pilkada DKI memenangkan pasangan Anies-Sandi dan saya belum bisa move on. Mungkin butuh waktu lima hari, satu minggu, tapi mumpung belum move on, bolehlah saya misuh-misuh sedikit.
Disclaimer:
Secara personal, saya bukan anti-Ahok. Dua tahun belakangan saya justru ikut berorganisir (organize and resist, ceunah) dalam pemenangan Ahok, mulai dari pencalonan independen hingga kalah di putaran kedua. Tapi bukan berarti saya fanatik buta hingga kehilangan objektivitas saya seperti yang pernah dituduhkan. Disini saya juga bukan ingin misuh mengenai kekalahan Ahok, tapi lebih kepada kritik bersahabat (daripada sekedar nyinyir) untuk teman-teman yang berada di barisan, katakanlah progresif, kalau sungkan berlabeli “kiri”.
Karena saya bukan orang yang cakap menulis dalam kata-kata hebat, saya buat kritik saya dalam bentuk poin-poin agar mudah dicerna, persis artikel “tips-tips menghadapi si dia” yang sering viral di Facebook. Kritik saya-pun bukan berdasarkan pengalaman pribadi berkecimpung langsung dalam gerakan kiri. Melainkan dari sudut pandang medioker kontrev yang suka iseng-iseng membaca buah pikir kamerad sejagad sosmed. Jadi tulisan ini sangat terbuka untuk dikritik balik, asal janganlah terlalu galak.
- Kegagapan tidak berujung tentang politik alternatif.
Saya mengutuk orang sok tahu yang bilang bikin partai dan menanamkan nilai-nilai itu gampang, kecuali dia seorang Harry Tanoe yang bisa mencuci otak balita dengan Mars Perindo tiap 10 menit di stasiun TV. Apalagi mau bikin partai pekerja, dengan basis buruh, tani, nelayan, dan miskin kota. Pasti sulit mengorganisir secara disiplin, apalagi dengan bayaran “kepuasan batin” bagi anggota yang kadang juga butuh asupan material.
Sungguh, saya-pun menanti partai politik alternatif ini menyuguhkan sesuatu. Saya tidak begitu paham dinamika yang terjadi di internal, tapi sejujurnya belum ada satupun teman-teman kelas menengah saya yang tahu makhluk macam apa itu politik alternatif. Jangankan disuruh berimajinasi soal masyarakat tanpa kelas. Dosakah mereka atas ketidak-tahuan itu? Kok saya rasa tidak. Saya tidak mau seenaknya sih menuduh orang lain malas belajar dan kurang baca buku.
Dari artikel-artikel yang saya baca mengenai respon aktivis progresif terhadap Pilkada DKI, jelas semua anti-Ahok (tapi anehnya tidak ada yang anti-Anies). Toh tidak pernah secara eksplisit juga mendukung Anies. Wacananya kurang lebih : ini momentum kita untuk membangun basis politik alternatif!
Dari dulu. Bahkan dari September 2015 sudah berwacana mengajukan calon independen sambil mencibir gerakan pengumpulan satu juta KTP untuk Ahok. Tapi sampai Ahok kalah Pilkada, saya tidak pernah mendengar lagi garangnya wacana politik alternatif.
- Kegagapan membaca situasi dan prioritas
Ahok tukang gusur. Betul. Tidak perlu diperhalus dengan kata-kata “relokasi”. Jelas ini jadi buah simalakama karena basis miskin kota banyak dirugikan dari kebijakan Ahok. Mengambil posisi “anti-Ahok” tanpa mendeklarasi “pro-Anies” mungkin dirasa jadi pilihan paling bijak dan kritis.
Tapi sayangnya, simpul massa yang bingung ini dengan mudah diraup oleh kubu Anies yang menawarkan iming-iming rumah DP 0% hingga program tata kota yang menggeser, bukan menggusur. Belum lagi jaminan surga dari juru kuncinya yang lantang sekali menggugat Ahok. Memang, mau Ahok atau Anies yang menang, warga miskin kota perlu terus melawan, sekurang-kurangnya untuk meminimalisir efek ketertindasan.
Anies menyediakan anastesi untuk rasa sakit akibat ketertindasan tersebut: agama. Tapi sebagaimana obat anastesi, jika dosisnya berlebihan justru bisa berakibat kelumpuhan bahkan kematian. Ini agaknya yang luput dari strategi “anti-Ahok tapi tidak juga pro-Anies”. Sementara wacana digulirkan bukan pada tuntutan agar Ahok meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi dampak negatif penggusuran, tapi lebih pada wacana menolak Ahok.