Mohon tunggu...
Rancha Belnevan
Rancha Belnevan Mohon Tunggu... -

bagaikan air yang dapat bergolak layaknya ombak di pantai selatan, dan dapat tenang seperti genangan di dulang.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

LGBT dan Kebencian yang Tak Habis-habis

23 Februari 2016   18:58 Diperbarui: 23 Februari 2016   19:15 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Entah apa yang menjadikan isu LGBT ramai dibicarakan lagi di sosial media hingga media mainstream nasional. Seingat saya, isu ini merebak lagi setelah beredarnya poster SGRC UI yang menyediakan fasilitas support group dan konseling untuk orang-orang dengan orientasi seksual LGBTIQ. Sejak beredar poster tersebut dan menghebohkan media sosial, giliran media semacam Republika ikut menggarami isu ini dengan informasi salah. Belakangan bahkan menjadi tajuk khusus dalam program Indonesia Lawyers Club di TV One.

Hingga saat tulisan ini dibuat, di beberapa media isu LGBT masih saja seolah menjadi isu paling penting. Bahkan melebihi seksinya isu kenaikan biaya kuliah, meski poster tersebut sudah lebih satu bulan beredar. Seolah setiap hari ada saja hal yang bisa digosok oleh media dari isu LGBT ini. Menyusul kasus pelecehan seksual oleh Saipul Jamil, dan terakhir penghapusan status facebook penulis Tere Liye dan Fahira Idris yang bernada kecaman terhadap kaum LGBT. Sikap Facebook ini dianggap sebagai tindakan diskriminatif terhadap gerakan anti-LGBT yang lantang menyuarakan diskriminasi terhadap LGBT itu sendiri.

Menarik mengamati bagaimana media mengemas isu ini hingga jadi trending topic sedemikian rupa, khususnya Republika (nggak usahlah kita bicara soal media lain yang tidak kalah keras). Rasanya sudah jelas bagaimana posisi Republika terhadap LGBT. Yang pasti, sama sekali bukan berniat mengedukasi masyarakat karena rata-rata hanya menampilkan informasi sepihak. Tidak dibutuhkan analisis teks yang mendalam buat menangkap kesan anti-LGBT yang disuarakan Republika.

Katanya sih, public agenda itu akan bersinergi dengan agenda setting media. Tapi apa iya segitu ceteknya intelektualitas pembaca berita, hingga urusan selangkangan orang dianggap Republika (atau media lain yang sealiran) lebih mendesak dibanding wacana revisi UU KPK, atau mengenai tingginya ancaman terhadap kebebasan beragama di Indonesia, atau bahkan soal rancunya perencanaan pengadaan kereta cepat Jakarta-Bandung.

Entah saya yang terlalu naïf karena melupakan aspek agenda setting, tapi dorongan isu LGBT ini sudah sangat memuakkan bagi saya. Bisa jadi sikap anti-LGBT ini sah-sah saja selama dampaknya tidak sampai menjadikan seorang mahasiswa LGBT menerima surat kaleng ancaman pembunuhan jika meneruskan orientasi seksualnya. Sampai titik ini menurut saya sikap anti-LGBT yang disuarakan media sudah tidak lucu lagi, dan sialnya terus-terusan ditadahi oleh beberapa golongan masyarakat.

Saya sendiri bukan cheerleaders LGBT. Saya tidak bisa dibilang membenarkan LGBT jika bicara dengan standar moral dan ajaran agama saya. Tapi kenyataannya perilaku seksual LGBT itu ada. Orang-orangnya bahkan banyak yang telah menyumbang kontribusi besar untuk dunia, melebihi kontribusi mereka yang tak lelah menebar kebencian pada kelompok ini. Celakanya, subjektivitas media-media anti-LGBT ini seolah memaksa masyarakat untuk menutup mata dari kenyataan tersebut. Bahkan menciptakan bingkai berita seolah LGBT ini laksana zombie yang bisa menginfeksi seluruh peradaban manusia jika masyarakat tidak terus menerus diprovokasi.

Ayolah, di negara-negara yang tidak begitu repot mempermasalahkan selangkangan orang, mereka bisa lebih berfokus pada hal-hal lain yang lebih penting seperti menemukan planet baru, mengaplikasikan penggunaan energi alternatif, menerapkan sistem pendidikan yang progresif dan berkeadilan, menampung imigran muslim yang terancam hidupnya karena perang, bahkan menemukan gelombang gravitasi yang mampu mengungkap proses penciptaan alam semesta.

Yah, tidak ada yang memaksa juga jika disini kita lebih suka mengecam platform instant messaging yang ada stiker LGBT-nya. Beberapa media juga lebih suka jika masyarakat terus menerus gelisah dengan fenomena ini. Karena ternyata mengkapitalisasi kebencian publik hasilnya lumayan juga buat meningkatkan oplah atau jumlah ‘klik’ di media mereka. Tapi yaa cukup tahu saja, bagaimana masyarakat dan beberapa media di Indonesia saling bersambut ping-pong dalam memikirkan hal apa lagi yang bisa digosok buat jadi bahan yang bisa menunjukkan bahwa dirinya lebih suci dari orang lain.

“Ya, biarpun penemuan Alan Turing mampu mempersingkat perang dunia dan hingga detik ini teknologinya masih saya pakai buat menebar kebencian, setidaknya saya bukan gay” begitu kira-kira kata mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun