Mohon tunggu...
Rancha Belnevan
Rancha Belnevan Mohon Tunggu... -

bagaikan air yang dapat bergolak layaknya ombak di pantai selatan, dan dapat tenang seperti genangan di dulang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perkara Rok Mini, Hingga Mata Rantai Stereotype Kaum Hawa

9 Maret 2012   18:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:17 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“..masalah moral, masalah akhlak, biar kami cari sendiri

urus saja moralmu, urus saja akhlakmu, peraturan yag sehat yang kami mau..”

-Manusia Setengah Dewa, Iwan Fals-



Sesuailah kiranya lirik lagu tersebut dengan kenyataan yang telah dicatatkan oleh anggota dewan perihal larangan pemakaian rok mini di areal gedung DPR. Rasanya tidak ada yang salah dengan aturan yang mengharuskan seluruh staff, karyawan, tamu, maupun anggota dewan untuk menggunakan pakaian yang pantas selama di lingkungan gedung DPR. Lantas apa yang membuat banyak orang mencemooh aturan yang terkesan mulia ini?

Mungkin jika aturan ini dibuat oleh anggota dewan yang track record-nya bersih dan memang membuat aturan semata-mata demi menjaga kedisiplinan dan wibawa dewan perwakilan, sepertinya tidak akan ada masalah apalagi sampai melahirkan cemoohan yang menyudutkan. Sayangnya, aturan ini dibuat justru dengan tujuan untuk ‘memperbaiki citra’ DPR yang sudah demikian melorot di mata publik. Pertanyaannya adalah, pencitraan apa lagi yang ingin dipertahankan, sementara bukan rahasia lagi bahwa banyak sekali skandal seks, tindak asusila yang disengaja, maupun pelecehan seksual terjadi di tengah kehidupan wakil-wakil rakyat.

Ingat, isu mengenai sampah kondom bekas pakai yang banyak ditemukan dalam tong sampah di ruang-ruang kerja anggota dewan?

Ingat kasus anggota dewan dari partai X yang tertangkap kamera wartawan tengah menonton rekaman porno ditengah berlangsungnya rapat?

Banyak lagi berita-berita miring yang turut memiringkan citra anggota dewan yang seharusnya bersih, karena mereka notebene-nya merupakan utusan-utusan rakyat yang telah diberi amanat. Maka mungkin, dengan dikeluarkannya peraturan ini para anggota dewan ingin berdalih bahwa selama ini, penyebab merosotnya moral mereka adalah pemakaian rok mini maupun baju dengan potonga leher rendah yang banyak dikenakan oleh karyawan atau staff-staff wanita selama bekerja.

Lantas mengapa ‘pencucian citra’ yang ingin dikedepankan oleh anggota dewan seolah harus mengorbankan stereotype wanita sebagai objek seksual dan pakaian mereka seolah dijadikan alasan terbangunnya hasrat biologis kaum adam? Jawaban seharusnya ada pada cara pikir dan sudut pandang oknum-oknum anggota dewan itu sendiri. Pikiran mesum dan kotor milik oknum-oknum tertentu adalah jawaban dari kemerosotan moral yang berbanding terbalik dengan meningkatnya tindak asusila dalam gedung DPR.

Katakanlah aturan ini benar-benar berjalan dan ditaati oleh seluruh elemen, akankah fakta-fakta yang mengindikasikan kemerosotan moral itu akan turut menghilang? Apakah dengan penggunaan baju kurung sekalipun bagi wanita di dalam gedung DPR akan serta-merta membuat pikiran-pikiran kotor para oknum anggota dewan akan kembali bersih? Mungkin banyak masyarakat yang sudah muak memikirkan kebobrokan moral orang-orang yang membuat aturan demi peningkatan moral itu sendiri. Sementara banyak kenyataan yang mematahkan statement bahwa pakaian wanita merupakan biang dari terjadinya pelecehan seksual. Seperti yang saya dengar dari sebuah stasiun televisi nasional, dikatakan bahwa Arab Saudi yang eksistensi wanitanya sungguh dikekang, dalam hal ini khususnya dalam hal berpakaian, justru memiliki angka perkosaan yang lebih tinggi dibanding dengan negara Skandinavia yang relatif rendah angka perkosaannya, padahal penggunaan rok mini di negara tersebut sangat lazim. Jika mengamati sepak terjang anggota dewan, khususnya oknum-oknum tertentu, saya rasa sangat mungkin kasus pelecehan dan tindak asusila tetap berlanjut. Kalau sudah begitu, mau siapa lagi yang dikambing-hitamkan selain pikiran-pikiran hitam masing-masing orang yang terlibat.

Dalam beberapa kesempatan, saya sempat membaca komentar-komentar masyarakat mengenai trending topic ini. Banyak orang yag berkomentar dengan kata-kata kasar, selain menghujat oknum-oknum yang terlibat asusila, banyak juga yang mengatakan hal serupa ; ‘didalam gedung DPR rupanya banyak wanita-wanita murahan yang sudi berbuka paha dan dada demi menyenangkan bos-bos-nya’. Demikianlah kurang lebihnya pikiran masyarakat. Saya termenung membacanya. Demikiankah stereotype wanita? Seolah wanita tidak lagi dibutuhkan daya kritisnya, tidak membutuhkan skill dan kemampuan. Seolah wanita tidak harus didengar ide dan gagasannya. Seolah wanita tidak punya apa-apa selain tubuh molek dan gaya yang sensual, sehingga cukup untuk memuaskan pikiran-pikiran gelap para oknum yang berotak mesum. Dan aturan yang dibuat oleh orang-orang dengan catatan moral yang kelam tersebut, seolah makin meng-amini stereotype yang selama ini tengah berusaha dipatahkan oleh golongan wanita yang percaya bahwa kualitas perempuan bukanlah semata-mata tergantung pada besaran lingkar pinggang dan lingkar dada, maupun faktor-faktor fisik lain.

Alih-alih memberlakukan aturan mengenai tata tertib berpakaian, sejujurnya kita layak curiga dengan keberadaan karyawan atau staff wanita yang berpakaian seronok dengan potongan dada yang lebarnya sejengkal dari leher, maupun penggunaan rok mini yang pendeknya agak keterlaluan. Secara psikologis, wanita dengan kualitas yang tidak diragukan, biasanya cenderung tampil elegan berwibawa. Karena biasanya wanita dengan kualifikasi tinggi tidak mererasa butuh berpenampilan seronok guna mengeksplorasi bagian-bagian yang ‘berkualitas’ dari tubuhnya. Toh kualitasnya akan terlihat sendiri dari cara ia bekerja. Menarik ketika kita layak curiga bahwa jangan-jangan karyawan ataupun staff anggota dewan yang berpakaian seronok tersebut (jangan-jangan) direkrut bukan berdasarkan etos kerja maupun faktor intelejensianya. Melainkan karena ‘faktor-faktor X’ lain yang pada akhirnya memang mengarahkan cara berpakaian mereka yang demikian. Ya, kita bebas untuk merasa curiga, selama tidak jatuh dalam fitnah dan tuduhan tanpa bukti. Namun logika-logika demikian bisa jadi menarik untuk kita kritisasi. Karena jika memang begitu adanya, maka seketat apapun peraturan berpakaian diterapkan dalam lingkup gedung DPR, tidak akan pernah bisa memperbaiki moral oknum-oknumnya.

Banyak hal lain yang lebih mendasar dan membutuhkan lebih dari sekedar perhatian anggota dewan. Jika pada fenomena rok mini saja reaksinya bisa begitu cepat dengan segera memberlakukan peraturan khusus mengnai cara berpakaian, maka masyarakat layak menunggu gebrakan baru yang lebih prinsipil dan mampu menyentuh seluruh lini masyarakat Indonesia yang hanya bisa berharap pada anggota dewan, meskipun tidak bisa banyak menggantungkan harapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun