Sudut Pandang Filsafat Hukum Positivism Perubahan Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Kuala Lumpur, Malaysia
Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur menerima Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) 493.856 pemilih. Hanya saja, yang berhasil dilakukan pencocokan dan penelitian sebanyak 64.148 pemilih. Dari perspektif positivisme hukum, perubahan DPT adalah bagian dari proses administrasi yang diatur oleh aturan hukum yang sah, yaitu Undang-Undang Pemilu dan aturan teknis yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selama proses pencocokan dan penelitian (coklit) pemilih dilakukan sesuai prosedur dan mekanisme hukum yang berlaku, maka secara legal-formal perubahan DPT adalah sah.
Positivisme hukum menegaskan bahwa hukum dan moralitas adalah dua entitas yang berbeda. Dalam hal ini, validitas hukum tidak tergantung pada moralitas atau keadilan, melainkan pada prosedur yang diikuti. Jika proses penetapan DPT dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku, maka secara legal daftar yang dihasilkan dianggap sah dan dapat digunakan dalam Pemilu, meskipun secara moral dapat diperdebatkan, misalnya terkait pemilih yang hilang dari daftar karena faktor administrasi.
Dalam positivisme hukum, legalitas (prosedur hukum yang benar) lebih ditekankan meskipun sebagian besar penduduk tidak tercantum dalam DPT, jika mekanisme coklit dijalankan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam peraturan KPU, maka itu dianggap sah dan tidak perlu ditinjau lebih lanjut dari segi keadilan bagi individu yang hilang dari daftar.
Proses pencocokan dan penelitian (coklit) yang menghasilkan hanya 64.148 pemilih dari hampir setengah juta data potensial merupakan sebuah proses administratif. Positivisme hukum tidak mempertanyakan kualitas atau efektivitas dari proses tersebut, melainkan menilai apakah langkah-langkah prosedural yang ditetapkan oleh hukum sudah diikuti. Sehingga, dalam hal ini, pelanggaran hanya terjadi jika ada penyimpangan dari aturan prosedural.
Jika ada kritik bahwa banyak pemilih potensial tidak terdaftar, positivisme akan melihat apakah ada prosedur hukum yang dilanggar selama proses penetapan DPT. Jika tidak ada pelanggaran, maka secara hukum daftar tersebut dianggap sah. Keberatan moral seperti hilangnya hak pilih sejumlah besar warga di luar negeri tidak mempengaruhi legalitas hukum yang telah ditetapkan.
Mazhab Hukum Positif
Mazhab hukum positif (positivisme hukum) adalah aliran dalam filsafat hukum yang menyatakan bahwa hukum adalah aturan-aturan tertulis yang ditetapkan oleh otoritas yang sah dan tidak tergantung pada moralitas atau nilai-nilai etis. Hukum dilihat sebagai kumpulan peraturan yang harus diikuti karena dibentuk melalui proses legislasi yang formal, bukan karena hukum itu adil atau bermoral. Hal ini memberikan dampak kepastian hukum, hukum dibentuk melalui prosedur formal, mengabaikan keadilan substantif dan cenderung kaku dan formalistik.
Mazhab Hukum Positif di Indonesia
Sistem hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh mazhab hukum positif, yang berfokus pada hukum tertulis dan aturan formal dari otoritas yang sah. Hukum di Indonesia dibuat melalui prosedur formal seperti legislasi oleh DPR dan Presiden, sesuai dengan prinsip kepastian hukum dan asas legalitas. Pemisahan antara hukum dan moral juga terlihat, di mana hukum tetap sah meski dianggap tidak adil oleh masyarakat. Contoh kasus seperti UU ITE dan UU Minerba mencerminkan pendekatan ini. Namun, sistem ini sering dikritik karena mengabaikan keadilan substantif.
Rana Sholekha Salsabila Subagya (222111033) HES 5A
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI