Berbayang Bayangan (1) . Dari pojok jendela rumah, Isma melongok keluar. Dalam dingin Ia merindu, saat-saat seperti dahulu. Gelap malam yang terurai perlahan kini tak tersambut hngatnya sinaran sang surya. Bersama kokok kukuruyuk ayam, ISma menanti menyambut cahya mentari menebarkan harapan yang selalu ditunggu hadirnya kesempatan nan gemilang dimasa akan datang, jaya di masa depan.
Dinginnya pagi membuat Isma semakin tenggelam memasuki lamunan. Isma merupakan gadis yang masih duduk di bangku aliyah tingkat dua atau kelas sebelas. Dalam lamunananya,Ia menerawang jauh kembali ke masa Dia masih duduk di kelas sembilan menengah pertama. Isma teringat sebuah pertanyaan yang mengawali pelajaran pertama guru barunya. Pak Ahmad Saefullah merupakan guru muda pengganti Pak Gunadi, guru agama yang di mutasi ke Surabaya.
“…Itulah nama Bapak, sekarang bapak ingin mengenal siapa nama pemilik wajah yang cantik dan ganteng ini. Saya akan baca dari awal dulu. Ahmad Zaenuddin, mana kembaran Bapak….” Pak Ahmad mulai mengabsen satu per satu sampai Zaid tsabit Imani. Pak Ahmad memulai pembahasannya dengan sebuah pertanyaan. Pertanyaan pembangkit minat murid-murid sebelum pelajaran dimulai Setiap kata yang terucap dari bibir merah pak Ahmad tidak putus-putusbnya lepas dari mata teman-teman Isma.
“…pertanyaannya tidak jauh dari pembahasan tentang rukun iman yang pertama. Dan pasti pak Gunadi telah membahasnya”
Suasana kelas mendadak hening resah. Apalagi teman-teman perempuannya Isma. Mereka tidak mau kesan pertama jatuh dihadapan guru yang ganteng karena tidak dapat menjawab pertanyaan yang mudah. Itu juga kalau mudah, kalau susah mereka menganggap wajar.
“ semuanya sudah siap! Hanya satu soal jawab oleh semuanya. Kita semua yakin Tuhan itu ada. Dan atas petunjuk al-Quran, kita mengetahui Allah itu satu, tidak beranak dan tidak pula diperanakan. Sekarang bagaimana kalau kita tidak menggunakana petunjuk al-Quran umtuk mengetahui keberadaaan Tuhan. Tadi mneggunakan dalil naqli, sekarang kita gunakan dalail aqli…”
Anak-anak khusyu’ memperhatikan dengan mengerutkan dahi dan buku yang dari tadi dibolak balik berharap ada jawabnnya.
“…menggunakan dalil aqli. Akal cenderung salah bila tidak dibimbing dengan dalil naqli yaitu al-Quran. Sudah siap semuanya. Gunakan akal kalian untuk menjawab dimanakah Tuhan berada “
pada saat itu Isma dan teman-temannya tidak memperhatikanapa alasan pak Ahmad tidak menyebutkan dimana Allah, tapi dengan kata Tuhan. Dalam pikiran mereka hanya berputar, apakah pak Gunadi pernah membahas, eh bukan-bukan, bukan membahas, tapi menulis tentang dimana Tuhan.
Pak Gunadi dikenal dnegan panggilan pak kapur tulis. Selain karena rajin menulis dengan kapur tulis dari awal jam pertama sampai akhir pelajaran, beliau juga kalau masuk yang pertama ditanyakan setelah salam adalah “Ada kapur tulis? Silakan kalau habis ambil dulu” dari sebab itulah asbabul sebut “pak kapur tulis".