Dunia saat ini sedang di landa suatu pandemic, dimana Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang berawal dari negara RRC (Republik Rakyat Cina) menyebar keseluruh Negara di dunia, angka kematian yang cukup tinggi menjadi sebuah ketakutan tersendiri. Para pakar kemudian mengidentifikasi pola penyebaran yang berasal dari komunal atau sekumpulan orang yang saling menulari satu sama lainnya.
Penjatuhan pidana yang sengaja dikenakan kepada individu yang telah melewati batas aturan UU, bertujuan untuk membuat pelanggar menjadi jera. Hukum pidana mengenakan nestapa dalam mempertahankan kaidah-kaidah yang diatur dalam hukum. Inilah sebabnya mengapa hukum pidana dijadikan sebagai 3 upaya terakhir (Ultimum Remidium) dalam hal penegakan hukum. Artinya bahwa sanksi pidana dipakai bilamana sanksi-sanksi yang lain sudah tidak bisa diberlakukan lagi. KUHAP telah memposisikan tersangka atau terdakwa dalam kedudukan yang "berderajat", sebagai makhluk Tuhan yang memiliki harkat derajat kemanusiaan yang utuh. Tersangka atau terdakwa telah ditempatkan oleh KUHAP pada posisi "his entity and dignity as a human being", yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Dalam pelaksanaan hukum di wilayah Indonesia, terdapat hukuman yaitu hukuman penjara. Di dalam (Pasal 10 KUHP) "terdapat dua bentuk penjatuhan pidana atau pemidanaan yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan. Selanjutnya pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim". Penahanan terhadap narapidana ataupun tahanan biasanya ditempatkan dilapas (lembaga pemasyarakatan) ataupun rutan (rumah tahanan).
Berbicara masalah rutan, rutan atau Rumah Tahanan Negara adalah tempat penahanan sementara untuk para tersangka yang belum terbukti atau belum mendapat vonis pasti dalam persidangan. Terbatasnya kapasitas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang tidak dapat menampung seluruh terdakwa, maka Rutan menjadi tempat alternatif yang tepat untuk menggantikan fungsi Lapas. Tahanan adalah orang yang belum terbukti bersalah dalam persidangan. Narapidana adalah orang yang sudah terbukti dan mendapatkan vonis hukuman.
Penahanan merupakan bentuk rampasan kemerdekaan bergerak terhadap seseorang. Di sini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus dipertahankan dan hak bergerak seseorang yang merupakan HAM.
Jadi, over kapasitas ini terjadi akibat disatukannya Tahanan dan Narapidana. Sebelumnya Rutan juga sudah over kapasitas dikarenakan jumlah Tahanan yang lebih banyak dari kapasitas yang 5 seharusnya. Ditambah lagi dengan pelimpahan Narapidana ke Rutan, akibatnya Rutan mengalami kelebihan daya tampung (over capacity). Dengan jumlah Lapas/Rutan yang over capacity akan sangat rawan sekali terjadi nya kondisi penularan Covid-19 antar Penghuni, maupun petugas. Kemudian Menteri Hukum dan HAM, Yassona H. Laoly mengeluarkan kebijakan "Asimilasi di Rumah". Mengenal Istilah 'Asimilasi di Rumah' dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2020 Tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi Bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Mengenal istilah Asimilasi adalah proses pembinaan Narapidana dan Anak yang dilaksanakan dengan membaurkan Narapidana dan Anak dalam kehidupan masyarakat. Sebelum Pandemi Covid-19, program Asimilasi untuk Narapidana bisa dilakukan di dalam maupun di luar lapas/rutan dengan bekerja sama dengan pihak ketiga yang diatur dalam Permenkumham RI Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Adapun Asimilasi di rumah memiliki diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut, yaitu: berkelakuan baik dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir; aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan telah menjalani (satu per dua) masa pidana sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020.
Pelaksanaan asimilasi di rumah tidak membuat klien bebas dan bisa berbuat seenaknya, klien asimilasi masih memiliki kewajiban absen/wajib lapor kepada Pembimbing Kemasyarakatan satu kali dalam seminggu. Asimilasi di rumah diberikan kepada Narapidana dewasa, diberikan juga kepada Anak yang berada di lapas/rutan yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) yaitu: Anak yang dapat diberikan Asimilasi harus memenuhi syarat: berkelakuan baik yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 3 (tiga) bulan terakhir, aktif mengikuti program pembinaan dengan baik; dan telah menjalani masa pidana paling singkat 3 (tiga) bulan. Narapidana Anak juga memiliki kewajiban seperti Klien Asimilasi dewasa yaitu absen satu kali dalam seminggu kepada Pembimbing Kemasyarakatan.
Setelah keluar dari lapas/rutan, Narapidana anak dan dewasa yang memperoleh program asimilasi dirumah akan diawasi dan dibimbing oleh Pembimbing Kemasyarakatan Bapas seperti yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) Permenkumham Nomor 10 Tahun 2020. Pembimbing Pemasyarakatan akan melaporkan setiap kegiatan bimbingan klien Asimilasi dirumah melalui Catatan Hasil Bimbingan Klien yang diketahui oleh Kepala Bapas secara rutin. Bapas juga menjalin kerja sama dengan pihak terkait (seperti Kepolisian, Kodim, Pemkot, dan Aparat Pemerintah Setempat) untuk membantu proses pengawasan klien asimilasi dirumah sehingga angka pengulangan tindak kriminal oleh klien asimilasi rendah.
Asimilasi dirumah bukan sekedar 'melepaskan' Narapidana dari lapas/rutan, tetapi Asimilasi dirumah merupakan kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM dimana klien masih tetap terus diawasi oleh Bapas.