Mohon tunggu...
putra gara
putra gara Mohon Tunggu... -

sederhana, apa adanya, tetapi selalu berdoa dan berusaha untuk menjadi manusia yang berguna

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bayi-bayi

25 Januari 2010   06:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:16 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Oleh Putra Gara

Malam turun dengan jubah hitam, dan angin mendesir munuju utara kota. Sebuah perkampungan yang cahayanya selalu remang dirangkul dingin.
Di atas, alam sepertinya tengah murka dengan tingkah laku manusia.
Untuk apa Kau turunkan khalifah di muka bumi kalau hanya untuk meracuni bumi itu sendiri?
Hanya Aku yang mengetahui
Perkampungan yang kalau malam tak pernah senyap itu malam ini sunyi. Jangkrik pun enggan bernyayi.
Kilat beberapa kali menyambar.
Gemuruh alam raya di atas sana mewakili kegegeran warga perkampungan.
“Ada bayi… ada bayi…” bisik orang-orang, dari balik tembok kamar.
Semua mata saling pandang. Karena telah ditemukan – bukan, bukan ditemukan – tepatnya didatangi – oleh bayi-bayi yang jumlahnya … satu, dua, enam, sepuluh…se-seratus mungkin juga lebih.
Bayi-bayi itu mendatangi setiap pintu. Mengetuknya dengan kelembutan tangan hampa. Memanggil-manggil si empunya rumah dengan suara yang mendesir seperti angin, lembut – tapi mencekam di keheningan malam.
Pintu-pintu memang sudah tertutup semua. Tapi bukan karena malam yang sudah beranjak larut. Karena biasanya, perkampungan itu malamnya seperti siang, dan siangnya seperti malam. Warga-warganya mayoritas perempuan. Laki-laki yang datang hanya sebagai tamu yang perlu dijamu; dengan sebotol atau segelas minuman, sambil dininabobokan alunan lagu dangdut, dan desah nafas panjang yang menggairahkan.
Tapi malam ini perkampungan itu terlihat sepi. Heningnya bagai komplek pemakaman. Meskipun di balik jendela dan pintu kamar, penghuninya tetap berjaga-jaga. Mempersiapkan kalau ada hal-hal yang tidak diinginkan.
Bayi-bayi itu tetap mengetuk pintu, berteriak-teriak di jalan seperti demonstran.
Penghuni kampung ketakutan.
Sekali dua, mereka mengintip keluar, melihat bayi-bayi yang mengetuk pintu dan berteriak memanggil-manggil si empunya rumah untuk keluar.
Tapi tak pernah ada sahutan dari dalam.
Suara bayi-bayi itu seperti tak dihiraukan.
Bayi-bayi mulai lunglai di pojok tujuan, nyaris putus asa. Mereka ketuk pintu beberapa kali lagi. Sedetik, dua detik. Semenit, dua menit. Tapi penghuni rumah-rumah di perkampungan itu memang tidak mau membukakan pintu.
Tak sudi.
Tak mau menerima kedatangan bayi-bayi itu.
Bayi-bayi kecewa.
Sedih, dan nelangsa.
Dari siang mereka sudah datang. Tapi perkampungan kalau siang hari memang sepi. Penghuninya banyak yang istirahat setelah lelah bekerja semalaman.
Bayi-bayi itu siang tadi hanya bertemu dengan seekor anjing kudis yang tengah mengais-ngais sampah di ujung jalan menuju perkampungan. Sang anjing sempat bertanya maksud dan tujuan bayi-bayi itu.
Tapi bayi-bayi pada bungkam.
Anjing kudis tak tahu urusan!
Si anjing menyalak. Ia merasa berkuasa, karena sedari kecil sudah menjadi warga perkampungan. Ia mempunyai hak untuk mengetahui siapa saja, dan tujuannya apa, yang datang di wilayah perkampungan, kampung yang hanya menerima tamu laki-laki di atas usia tujuh belas tahunan. Kampung yang telanjang dengan norma-norma. Kampung yang memberikan kenikmatan dunia di atas dosa-dosa.
Bukankah dosa telah menjadi darah manusia?
Bayi-bayi akhirnya mau bercerita tentang kedatangannya. Si anjing menjulurkan lidahnya, sepertinya ia serius mendengarkan.
Perkampungan adalah kampung halaman bayi-bayi itu. Mereka datang ingin bertanya kepada sang bunda. Kenapa mereka dicampakan. Dibuang dari haknya untuk hidup. Disia-siakan dari akibat kenikmatan yang dibeli dari beberapa lembar uang ribuan.
Bayi-bayi ingin bertanya. Ingin kejelasan. Benarkah keberadaan mereka tak diharapkan. Tak dikehendaki. Tak diinginkan. Lantas, kenapa harus terjadi? Kenapa mau berbuat kalau akhirnya tak mau bertanggung jawab?
Dan ketika dia berpaling, dia berusaha merusak segala apa yang ada di sana, serta membinasakan ladang serta benih dari manusia itu sendiri. Sedangkan Sang Kehendak tidak suka pengerusakkan.
Kenapa? Kenapa dan kenapa? Sepuluh – atau juga lebih – kenapa itulah yang akan ditanyakan bayi-bayi itu kepada sang bunda.
Karena di sana, di dekat arsy-Nya, bayi-bayi itu merasa kesepian. Mereka iri dengan teman-teman yang lainnya, yang selalu dapat kiriman bunga dan doa-doa. Mereka tidak pernah mendapatkan itu semua. Tak pernah. Karena sang bunda tak mengharapkan kelahiran bayi-bayi itu yang tidak ketahuan siapa bapaknya.
Akhirnya mereka dibuang. Baik yang sudak berwujud, maupun yang belum berbentuk.
Dihempaskan, dan tak diberi haknya untuk hidup.
Padahal hidup milik Sang Kehendak.
Jangan kau kira mereka yang mati di jalan-Nya telah tiada, sesungguhnya mereka datang menghampiri-Nya tanpa hisaban.
Demikianlah cerita bayi-bayi.
Sang anjing menyalak. Ia melihat gejala kurang baik kalau bayi-bayi itu sampai bertemu dengan bundanya. Entah dari mana datangnya pikiran di kepalanya untuk menawarkan jasa menjadi penyambung lidah dari permasalahan yang telah dikemukakan.
Bayi-bayi menolak.
Mereka ingin bertemu secara langsung dengan bundanya.
Anjing kudis tak tahu permasalahan. Ini urusan benang merahnya darah antara anak dengan sang bunda, kata si bayi-bayi.
Merasa usulnya tak diindahkan, si anjing hengkang dengan umpatan.
Bayi-bayi memasuki perkampungan.
Perkampungan bungkam.
Sunyi dan sepi.
Tanpa sepengetahuan bayi-bayi, anjing kudis telah melaporkan kedatangan mereka kepada bunda-bundanya, sehingga keiinginan bayi-bayi untuk bertemu dengan sang bunda pun tak pernah kesampaian.
Si anjing telah menghalang-halangi. Dan sang bunda pun akhirnya bersembunyi.
Ketukan pintu dan teriakan bayi-bayi lambat laun berhenti.
Sementara malam menjelang pagi.
Bayi-bayi tampak lelah.
Mereka kecewa dan putus asa.
Akhirnya mereka harus rela, tak dapat bertemu dengan sang bunda.
Kesunyian pagi pun mengujungi. Ruh tebang menuju alam keabadian. Sementara raga menderita bersama kehidupan.
Bayi-bayi itu telah pergi, meninggalkan perkampungan dengan sia-sia. Sepanjang jalan mereka menyenadungkan syair rintih pilu perpisahan. Dan perpisahan tak lain adalah kering dan tandusnya ingatan, yang pada saat nanti, mereka pasti akan dipertemukan. Karena antara ibu dan anak memang tak pernah terpisahkan.
Sementara itu, saat fajar menjelang, si anjing kudis tengah mengais-ngais tulang-tulang mungil berbentuk iga, kaki dan tangan – di kebun belakang rumah-rumah perkampungan.*

Bojong Gede 032001

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun