Saat ini kita memasuki era yang mendorong perubahan di segala lini kehidupan dengan sangat cepat dan masif. Sebuah era yang dinamakan "era disrupsi" ini digadang-gadang mampu, bahkan telah mendobrak batas-batas tradisional; cara kita hidup, cara kita berkomunikasi, cara kita bekerja, termasuk cara kita menyampaikan pesan-pesan agama atau dakwah.
Dahulu, pesan-pesan agama Islam disampaikan dengan cara tradisional; door to door atau khuruj. Para tokoh agama juga da'I mendesiminasikan ajaran Islam melalui mimbar-mimbar, rumah ke rumah, dan surau ke surau.
Mimbar merupakan sarana utama bagi para tokoh agama untuk menyampaikan pesan agama kepada jemaahnya. Di atas mimbar, nasihat-nasihat spiritual berkumandang, khutbah Jumat memberikan panduan kehidupan, dan ceramah-ceramah agama mengajarkan nilai-nilai moral.
Saat ini, metode dakwah telah mengalami transformasi akibat era disrupsi. Teknologi, sebagai salah satu produk yang lahir dari era ini menjadi kekuatan dominan dan menggeser metode dakwah para tokoh agama; dari mimbar ke media sosial merupakan ekses dari era ini.
Bagaimana proses transformasi dakwah dari mimbar tradisional ke ranah yang lebih modern dan digital, yaitu media sosial?
Dakwah, sebagai upaya menyebarkan ajaran agama dan memperdalam pemahaman spiritual telah ada sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW. Mimbar selalu menjadi pusat perhatian dalam dakwah. Mimbar telah menjadi simbol yang mengakar dalam sejarah dakwah. Sebagai tempat di mana para tokoh agama menyampaikan pesan-pesan ajaran agama, mimbar memiliki makna yang dalam bagi komunitas muslim. Khutbah Jumat, misalnya, di mana tokoh agama atau khotib memberikan nasihat dan panduan berdasarkan Al-Quran dan Hadis kepada jemaah.
Di atas mimbar, para tokoh agama memiliki wadah untuk berbicara langsung kepada umat, memberikan pengajaran, nasihat, dan tuntunan berdasarkan ajaran Al-Quran dan Hadis. Kehadiran mimbar juga melambangkan kewibawaan dan otoritas yang melekat pada para tokoh agama yang memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan pesan-pesan suci kepada jemaah.
Akan tetapi, metode dakwah tradisional---menggunakan mimbar---kurang memiliki dampak bagi generasi muda. Saya yang masih menjadi bagian generasi ini pun merasa demikian. Kita merasa metode seperti ini kurang menarik karena pola dakwah atau komunikasi yang digunakan adalah satu arah. Kita hanya duduk, mendengarkan, dan merenungi ceramah dari tokoh agama tanpa adanya partsipasi aktif.
Selain itu, keterbatasan akses fisik menjadi kendala bagi kita yang tidak dapat hadir langsung di tempat ibadah. Oleh karena itu, para tokoh agama perlu untuk mengadopsi teknologi---media sosial---yang dapat mengatasi batasan-batasan tersebut.
Media sosial telah mengubah cara kita berinteraksi dan mendapatkan informasi. Melalui platform-platform, seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan Twitter, informasi dapat dengan cepat menyebar di seluruh dunia. Dalam dakwah, media sosial memberikan peluang baru untuk menghadirkan pesan-pesan agama kepada audiens yang lebih luas, termasuk mereka yang berada di luar jangkauan tradisional.