Oleh: Rahmat Mustakim*
Sudah genap sebulan usianya, sejak dari pembelian gadget terbaruku ini. Sebuah smartphone berlayar touch-screen, yang kupilih berkulit gelap (hitam). Sistem operasi android barangkali sudah tak asing merambat di telinga –pada zaman di mana saya menulis catatan ini. Tetapi, ia punya keistimewaannya sendiri. Ketika sampai dirinya dilabeli resmi: “X”.
Di keluarga android, X mungkin berposisi sangat bungsu. Atau bisa disebut terlambat. Sebab, ponsel android lainnya yang bermacam merek, sudah terlanjur bertebar di pasar. Kelahiran X, begitu berarti. Yang mesti tercatat: ia adalah bayi pertama berkelamin android, dari ibu yang mengandungnya. Katakanlah sang ibu, Nokia.
Menyebut nama itu, aduh, seperti mengeja kalimat sajak rindu. Manakala terkenang kembali, begitu menyayat hati. Betapa tidak, berita sudah terlanjur menyebar: perjalanan Nokia tengah anjlok. Tubuhnya, seakan telungkup di bawah, ketika ia terjatuh tersenggol lawan-lawannya. Ia, sungguh berkeinginan untuk beranjak bangun. Tetapi, sulitnya bukan main. Orang-orang lantas melupakannya. Mereka yang cenderung berotak mainstream, lebih memilih ikut-ikutan ketimbang takut ketinggalan laju teknologi.
Itulah kenapa, merek-merek seperti berikut: Samsung, Sony, I-Phone, Mito, Imo, Smartfren, cepat membesar namanya. Karena produsen-produsen tersebut mengikuti arus. Sedang Nokia masih terganjal oleh lamanya kajian. Lalu, mau dibawa ke manakah? Tetap konsisten dengan pasarnya sendiri atau tega melacurkan ideologinya demi bertahan diri.
Inilah pekerjaan terberat Nokia. Sebab tak bisa dipungkiri. Nokia memang terkesan canggung mengadopsi android, karena, sudah terlanjur berkemitraan eksklusif dengan Windows Phone, kepunyaan Microsoft. Alasannya, sebagai jalan tengah juga agar terpandang tak bergantung penuh kepada Google.
Astaga, yang terjadi kemudian ialah bangkrutnya usaha. Tercatat di tahun 2010, kurang lebih Nokia memecat karyawannya sebanyak 1000 orang. Yang konyol, bahkan terdengar kabar, sampai-sampai Google menyatakan, siap menampung karyawan Nokia yang bakal terkena pemecatan. Ah! Peperangan seperti tiada henti: antara Microsoft dan Google.
Posisi genting pada Nokia bukan hanya terjadi saat masa mempertimbangkan android. Martti Haikio, sejarawan asal Universitas Helsinki yang pernah diberi kesempatan meneliti Nokia di negaranya sendiri (Finlandia) itu, mencatat beberapa kasus. “Kejadian-kejadian menyakitkan seperti tewasnya Chief Executive, Kari Kairamo, di tangannya sendiri; situasi corporate governance (pengelolaan perusahaan) yang membingungkan pada 1986-1992; dan kerugian besar yang dialami divisi Consumer Electronics,” juga yang lain, secara apik dirangkumnya.
Dalam pengantar buku Nokia (2008), Martti mengulas Nokia setidaknya dari tiga sisi: rahasia kesuksesannya, interaksi antara inovasi teknologi dan inovasi organisasi, dan ekonomi bisnis. Martti berkisah kesejarahan Nokia secara jujur, lengkap, dan kredibel. Dimulai sejak revolusi industri kedua, tepat di tahun 1900. Yakni, bisnis utama Nokia ketika masa awal, yang lantas menjadi asal-usul tertua Nokia saat ini. Semua pasang-surut Nokia ia beber dan kisahkan.
“Bagaimanapun, Nokia tidak pernah mendapatkan posisi sebagai pemimpin, dengan produk-produk utama manapun dalam revolusi industri kedua. Produksi kabel Nokia tumbuh bersama dengan pasar listrik dan telepon, dan menjadi pemain dalam kejayaan otomobil tetapi baru memproduksi ban untuk mobil dan sepeda. Revolusi industri ketiga pada 1970-an, yang meliputi dunia komputer, telekomunikasi dan ponsel, akhirnya membawa Nokia ke pentas utama.” (halaman 32)
Betul, kejayaan Nokia yang kita kenang di tahun 2000-an, ialah tak lepas dari seorang Jorma Ollila. Nokia, di bawah kepemimpinannya sejak bulan Januari 1992, berhasil mewujudkan apa yang teringini. Di antaranya, pemasalahan yang ada di Nokia dengan salah satu divisinya, Mobile Phones, jadi membaik. Yakni, rendahnya semangat kerja dan tidak adanya integrasi dengan organisasi Nokia. Ia pun kemudian memberi solusi: membangkitkan antusiasme dan merampingkan organisasi. Martti mencirikan gaya kepemimpinan Ollila dengan dua kekuatan: kemampuannya menjaga keseimbangan tertentu, dan kemampuannya mengartikulasikan serta menyederhanakan sasaran-sasaran kunci. Jadilah Nokia melejit, sejak itu.
Saya pun masih mengingatnya. Dahulu, sebelum android belum pecah telurnya, yang ramai-ramai dipertanyakan orang soal ponsel ialah berkisar pada tipe, bukan merek. Bila ditemukan kawan kita yang tak kedapatan memiliki ponsel Nokia, seperti ia dikucilkan. Lalu kita seakan berlomba: mengejar tipe Nokia terbaru, tercanggih, termahal. Dari tipe perangkaan 1000 (seri Ultrabasic), sampai 9000 (seri Smartphone). Dari tipe C, N, E, Asha, L’Amour, Lumia, seri game (N-Gage dan N-Gage QD), Luxury, dan masih banyak lagi. Percayalah, rata-rata orang memiliki ponsel untuk yang pertama kali: tak lain tak bukan adalah Nokia.
Keunggulan yang terutama dari Nokia –menurut kacamata saya– adalah bahan pembentukan gadgetnya yang kokoh dan tak murahan, ketahanan produk dan masa usia yang relatif lama, serta mudah dalam mengoperasikannya. Meski, keinginan masyarakat di masa kini cenderung untuk mempertimbangkan berlebihnya fitur dengan harga terjangkau. Buat saya, perspektif segelintir masyarakat yang bilang Nokia pelit fitur dan kemahalan, tak jadi masalah. Selama bisa menepis celotehan kawan saya bahwa Nokia: berfitur itu-itu doang dan bikin ngebosenin. Selama bisa mengantongi sebuah ponsel yang bermerek bukan abal-abal, masih berlaku.
Barangkali terlalu subjektif, bernarasi demikian. Tetapi yang patut kita acungi jempol, Nokia telah berhasil menciptakan ekosistemnya sendiri, dengan peluh keringatnya. Ia begitu cermat dan berhati-hati sekali dalam menimang beban bisnisnya yang tengah terpuruk. Di tengah itu, lahirlah Nokia bertipe X yang berperan menyelamatkan. Android pertama kepunyaan Nokia yang tak seratus persen mengikuti android hasil didikan Google. Perbedaannya terletak pada adanya toko pembelian aplikasi khusus Nokia Store (bukan Play Store yang biasanya ngintil di android) serta nuansa kotak-kotak ala Windows Phone yang dihadirkan dalam menu utama. Inilah yang diistilahkan oleh Nokia sendiri: “android rasa Windows Phone”.
Acap kali, menunggu adalah pekerjaan menjemukan. Tetapi, menunggu waktu yang agaknya lama untuk sesuatu yang berpenampilan anyar tidaklah salah. Begitulah Nokia yang lantang, seperti ia berpegang teguh pada prinsip: tak mau bergantung pada Google. Meski, ia masih harap-harap cemas, menanti si buah hati kembali menguasai pasar. Meski, sebagai ibu yang sudah terlatih kesabarannya, X masih terus diajarinya merangkak. Sampai terus berjalan dan berlari seperti kakak-kakaknya terdahulu.
30 Juli 2014
*mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta. Kepala Divisi Penulisan LKM UNJ. Kontak dan saran bisa dihubungi lewat email: rahmatmustakim@rocketmail.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H