Mohon tunggu...
Rahmat Mustakim
Rahmat Mustakim Mohon Tunggu... -

Catat yang terdekat, baca yang terlewat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PIALA DUNIA, PIALA AKHIRAT, PIALA RAKYAT

27 Juli 2014   01:44 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:05 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1406386259290064097

Oleh: Rahmat Mustakim*

Marhaban ya Ramadhan.

(1)

Di hari pertama salat tarawih, sehabis salat isya, ada salah seorang jamaah –seorang pria agak renta– melancarkan telunjuknya ke arah imam: tengah mengoceh tidak keruan. Ia, sepertinya kesal. Sebab, pengeras suara sekejap mati. Akibatnya, pergantian gerakan salat dengan seruan “Allahuakbar” tak sampai ke telinganya. Amarahnya pun menyulut.

Tetapi, tidak satu pun dari jamaah memedulikannya. Paling-paling, cuma melirik ke arahnya sebentar, lalu balik lagi berdoa. Paling-paling, cuma bocah-bocah kecil yang kadang berisik itu, memperhatikan dengan jeli dan seksama. Seraya menggumam dalam hati: “sudah tua tapi kok kelakuan seperti kita (?).” Padahal, sang imam hanya lupa microphone-nya belum nyala. Padahal, gerakan salat juga bisa diketahui lewat kawan makmum di samping.

Dengan semangatnya yang berapi-api, orang itu barangkali telah jujur pada dirinya sendiri. Ia, seperti halnya kita, percaya bahwa hari pertama tarawih: momentum yang tak boleh dilewat. Hampir pada setiap masjid, saya kira, para jamaah membludak ketika ada momentum khusus. Seperti salat tarawih yang dikerjakan pada hari pertama itu.

Bila Ramadhan sudah bertengger di pertengahan, maka lainlah cerita. Saf-saf semakin hilang satu demi satu. Para jamaah menyerah dengan dalihnya masing-masing. Ada yang beralasan capek sehabis pulang kerja, mudik, silaturahmi bersama teman, membaptis sebagai pengacara (pengangguran banyak acara), dan lainnya. Pada akhirnya kondisi masjid jadi “bolong”.

(2)

Lain halnya dengan Entong. Ia, yang disamarkan namanya itu, antusias pula mendukung tim kesayangannya di putaran World Cup: negara Jerman. Pertandingan perdananya yang sukses menggilas negara Portugal, membuatnya nyengir terus. Sehabis de Panzer berlaga, kemudian menang, tak henti-henti ia membicarakannya di tengah karib-karibnya. Meski, ia tak pernah tahu, apa yang dirasakan kuping-kuping itu bila nyatanya mendukung negara lain: panas!

Ditambah lagi, wacana soal taruhan. Logika orang-orang taruhan, ialah tak berpikir menang-kalah. Yang penting menanamkan keberaniannya dahulu. Entong tak pernah peduli duit yang dikeluarkannya habis berapa. Toh, Jerman juga pasukan yang tangguh. Negara itu senantiasa menolak untuk ngeluh di lapangan. Di banyak kesempatan, Jerman memenangi pertandingan. Walhasil, Entong selalu bergembira: uang di sakunya semakin berlipat.

Tanpa terasa, Piala Dunia 2014 yang kali ini bermarkas di Brasil, sudah sampai di ujung laga. Jerman kemudian, tampil untuk yang terakhir kali di final melawan negeri Tango, Argentina. Pertandingan berlangsung sengit, hingga babak kedua. Tanpa skor sama sekali. Lalu, dengan dibantu waktu tambahan di menit 113, Jerman akhirnya berhasil merobek gawang Argentina, lewat sepakan semata wayang, Mario Gotze. Kemenangan mutlak bagi Jerman. Ia menjuarai Piala Dunia kali ini.

(3)

Suhu perpolitikan di negara kita, semakin memanas. Musababnya, terpilihlah dua kandidat untuk dicalonkan sebagai presiden di ajang Pilpres (09/07/14). Keduanya punya sisi baik dan buruknya masing-masing. Itu kenapa, pemilu kali ini begitu menarik: diwarnai dengan istilah Black Campaign dan Negative Campaign. Demi alasan semata: ingin menjatuhkan calon lain secara tidak sehat.

Eneng (barangkali nama asli dari tanah kelahirannya di Sunda), kelihatan risih. Ia kemudian memilih apolitis. Di saat orang ramai-ramai di media sosial meributkan segala macam “tetek-bengek” soal capres, begitu juga teman sepermainannya dari kecil, ia sungguh tak memeduli. Bahkan, akun facebook temannya itu hampir saja ia delete. Sebab, berita yang menjatuhkan capres lain yang dibencinya, yang berisi fitnah pula, ia share. Di situlah Eneng geram bukan kepalang. Katakanlah dia, temannya itu, bernama Maria.

Boleh jadi Maria punya maksud baik. Dengan berkeinginan, atas alasan persuasif. Seminimal mungkin, ia ingin mengajak teman-teman mayanya itu, ikut mencoblos capres pilihannya. Ia, tipikal perempuan yang menolak untuk mengecewakan adanya kesempatan. Karena pikirnya, mumpung ada di tahun ini, Maria ikut menyuarakan Black Campain dan Negative Campaign.

Singkat kata, tibalah hari itu. Pencoblosan calon presiden. Di banyak Tempat Pemungutan Suara (TPS), kita temukan aparat berjaga mengamankan lokasi. Takut-takut, ada kecurangan atau apalah yang buat warga resah. Surat suara pun terkumpul. Quick Count lekas dilaksana. Tetapi ada keganjilan. Stasiun televisi seperti terpecah dua kubu. Beberapa memenangkan capres nomor urut satu; beberapa lainnya tentu, berpihak ke capres nomor urut dua. Baiklah, KPU pun bilang akan mengumumkan siapa pemenang Real Countnya (22/07/14).

Celakanya, lagi-lagi, masalah terjadi. Keputusan mutlak dari KPU yang dituduh curang oleh kubu pertama (sebutlah: Prabowo-Hatta), pada akhirnya memenangkan kubu kedua (sebutlah: Jokowi-JK). Tak bisa mengelak, keduanya memang punya niat yang ambisius untuk menjadi nomor satu. Segala cara yang dilakukan, dinilai halal bagi para pendukung beratnya. Esoknya, media cetak riuh menggema. Alamak, negeri ini sungguh ajaib. Bukan begitu, Maria?

*

Seorang kawan belakangan menulis status di facebooknya. “Antara Piala Dunia, Piala Rakyat, dan Piala Akhirat.” Di momentum yang berdekatan ini, agaknya kita menemukan adanya tiga piala. Seorang yang tua renta, Entong, dan Maria; adalah cerminan betapa bahagianya mereka memasuki tiga momentum yang jarang-jarang terjadi ini. Euforia mereka begitu membeludak.

Goenawan Mohamad (2012) pernah bilang, setiap sejarah bermula dari euforia dan berakhir menjadi melankolia. Lalu, ke manakah orang-orang itu setelah tiga piala ini berakhir? Adalah kembali melakoni rutinitas kembali. Yang tadinya berlagak, seperti: seorang pemuka agama, jagoan, dan politikus; itu hanyalah sementara. Seterusnya melankolia. Mengenang.

Sebentar lagi, masa ketiganya usai. Lalu, kita rayakan hari lebaran, dengan ketupat dan opor ayam. Lalu, kita maaf-maafan, menghapus kesalahan yang ada. Lalu, lupakanlah ketiga piala. Saatnya berfoto dengan tiga jari: salam Persatuan Indonesia! Lantas, kemenangan ini, marilah kita tutup dengan seruan takbir bersahut-sahutan: Allahuakbar! Semoga fitrah!

26 Juli 2014

*mahasiswa jurusan Pendidikan Ekonomi, Universitas Negeri Jakarta. Kepala Divisi Penulisan LKM UNJ. Kontak dan saran bisa dihubungi lewat email: rahmatmustakim@rocketmail.com.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun