[caption id="attachment_310290" align="aligncenter" width="619" caption="Illustrasi: Bupati Ngada, Marianus Sae terkait kasus penutupan bandara (sumber: Beritasatu.com/Danung Arifin)"][/caption] Di acara Mata Najwa yang bertajuk 'Hati-hati Bupati', tampil salah seorang Bupati yang belum lama ini menjadi 'buah bibir' masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat dunia karena tindakan arogansinya melarang Merpati terbang ke Soa, yang ditindaklanjuti dengan gaya premanisme memblokir bandara melalui para 'kacungnya', Satpol PP. Semuanya dikarenakan pihak Merpati tidak bisa menyediakan tiket yang diboking oleh "Sang Raja Kecil" dari daerah Ngada sehari sebelum keberangkatan. Akibat tindakannya ini, Merpati harus menanggung kerugian sebanyak 70 juta oleh pengalihan pendaratan ke Kota Ende dengan penambahan akomodasi bagi penumpang karena mereka harus menggunakan jalan darat ke Kota Bajawa dan sekitarnya. Setelah dikecam dan ditekan publik nasional maupun internasional, barulah pihak kepolisian langsung menjadikan/menetapkan Marianus Sae, Sang Bupati "kontroversial" sebagai tersangka bukan dengan Undang-undang penerbangan, tetapi dengan undang-undang penyalahgunaan jabatan. Sementara kaki tangannya yang menjadi ujung tombak pemblokiran Bandara, Kasat Pol PP dan anggotanya yang hanya menjalankan perintah Sang Tuan harus menanggung getah yakni: dijadikan tersangka dengan jeratan pasal undang-undang penerbangan. Apakah ini adil? Ketika Bupati Ngada, yang seharusnya menjadi 'aktor intelektual' di balik tindakan arogan ini, malah tidak dijerat pasal undang-undang penerbangan? Bahkan setelah ada pelimpahan berkas dari penyidik polda NTT ke pihak kejaksaan, tampaknya upaya memperlunak jeratan hukum bagi para pelaku 'teror' lokal di dunia penerbangan ini dengan cara mengusakan menyamakan jeratan pasal baik terhadap Bupati sebagai 'aktor intelektual' maupun kepada Satpol PP. Sepertinya, kedua pihak ini mau 'diluputkan' oleh pihak penyidik dari jeratan undang-undang penerbangan, padahal tindakan mereka sudah jelas-jelas menduduki bandara dan mengganggu penerbangan Merpati. Tidak hanya itu. Bupati Ngada, yang menjadi ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN) di Kabupaten Ngada malah di-back up abis-abisan oleh partai besutan Amin Rais ini karena Kabupaten Ngada menjadi basisnya PAN di tingkat lokal oleh karena kader-kadernya lebih banyak berpengaruh di tingkat masyarakat akar rumput dibandingkan partai-partai lain. Rupanya upaya back up kader-kader PAN tingkat nasional juga diikuti dengan pengerahan kader-kader PAN di tingkat lokal melalui para kades (yang merangkap kader PAN) untuk menghalang-halangi proses hukum (melalui tuntutan pencabutan SP3) terhadap Bupati Ngada dengan alasan tindakan pemblokiran itu dilakukan oleh Bupati Ngada demi kesejahteraan masyarakat Ngada. Rupanya alasan demi kesejahteraan masyarakat Ngada inilah yang selalu dijadikan sebagai dalil utama bagi Bupati Ngada dan para kader PAN untuk membebaskan Marianus Sae dari jeratan hukum. Kini masyarakat Ngada memang sedang mengalami pembodohan publik oleh Bupatinya sendiri, Marianus Sae. Politik pencitraan terhadap masyarakat akar rumput yang tidak kritis sedang dilakukannya. Ketika ia tampil by design melalui wawancara empat mata di acara Mata Najwa, ia memainkan politik pencitraan untuk membodohi masyarakat Ngada. Di dalam acara tersebut, ia tampil gagah dan ksatria bahwa ia siap dihukum bukan atas kekonyolan dan kebodohannya yang tidak mengerti undang-undang penerbangan, tetapi karena membela kepentingan masyarakat Ngada. Orang Ngada dijadikan bemper bagi Marianus Sae demi melanggengkan kekuasaannya untuk dua periode pada 2015 mendatang dan demi stabilitas elektabilitas PAN di Kabupaten Ngada pada pileg 2014. Demi semuanya itu, ia menuding Merpati sebagai yang paling bertanggung jawab atas tindakan bodohnya memblokir bandara. Ia mengatakan bahwa jika Merpati tidak menyediakan tiket baginya, maka Merpati tidak mendukung upaya pembangunan di Ngada. Karena itu, baginya sudah selayaknya Merpati diblokir. Apakah Merpati tetap diam saja dan menerima tudingan sepihak Bupati Ngada di Mata Najwa? Apakah masyarakat Ngada juga mau saja dibodohi oleh Bupatinya sendiri? Semoga hukum di negeri ini masih bisa dipercaya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H