Mohon tunggu...
Ramses Riko
Ramses Riko Mohon Tunggu... Politisi - Mengamati dan menulis

saatnya yang muda bicara dan berbuat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Belajar dari Fenomena Film Innocence of Muslim

19 September 2012   13:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:13 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya baru selesaikan meditasi sore hari tadi, saat azan subuh terdengar mendayu. Saya memang bukan Muslim -saya Katolik -namun saya sering membayangkan, betapa alam semesta ini dipenuhi aura positif saat banyak orang melantunkan doa dari kebeningan jiwa, ketulusan hati dan kepenuhan diri. Sama seperti saya berimajinasi, betapa dunia terasa teduh manakala kita semua -dari agama dan keyakinan apa saja -- berdoa untuk keselamatan, kebaikan dan perdamaian dunia.

Hari-hari ini kita dikejutkan oleh adanya film "Innocence of Moslem" (kalau tidak salah, judulnya begitu) seperti diberitakan media massa. Film ini memancing reaksi massif dari kaum Muslim di mana-mana karena isinya menghina Nabi dan (ajaran) Islam. Saya belum nonton (dan tidak tertarik untuk nonton) film itu, namun isinya pasti amat negatif sehingga reaksi umat Muslim seperti itu.

Lantas saya teringat dosen Islamologi kami di Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero-Flores dulu, Pastor Dr. Philipus Tule, SVD. Beliau imam Katolik yang lahir dari keluarga majemuk, orang tuanya Katolik, sebagian kerabat lainnya Muslim di Maunori, Nagekeo Flores. Pakar Islamologi yang studi di Roma dan menyabet Doktor Anthropologi di ANU Australia ini amat mempengaruhi cara berpikir dan mempengaruhi sikap kami - para frater (calon imam Katolik) saat itu -untuk mengapresiasi ajaran Islam. Kami diberi pengertian, pemahaman dan pengetahuan dasar tentang Islam. Apa tujuannya? Bukan untuk mengetahui "kekuatan dan kelemahan" agama lain, tapi agar kami menghargai perbedaan dan keanekaan, mengasihi sesama dengan kultur dan keyakinan religiusnya, hidup berdampingan secara damai, lalu menularkan semangat cinta damai dan menghargai agama lain itu kepada umat Katolik (entah kami jadi pastor/romo ataupun tidak).

Sebenarnya untuk bisa saling menghargai kita tidak mesti belajar Islamologi ataupun ilmu Perbandingan Agama. Bagi orang Kristen misalnya, untuk saling menghargai, kita cukup kembali ke ajaran dasar yang diwartakan Kristus: Cinta Kasih. Kalau kita menghargai diri sendiri, kita pun pasti menghargai sesama, apapun latar belakangnya. Orang yang menghina orang lain justru memantulkan kehinaannya sendiri. Saya yakin, pembuat film itu dan siapapun yang melakukan tindakan menghujat sesama dan agama sesamanya pasti BUKAN "manusia spiritual".

Seorang pribadi yang spiritual justru merangkul semesta ini dalam doa-doanya. Ia memancarkan semangat kasih dan damai bagi dunia di sekelilingnya -- persis yang diajarkan Islam sebagai "rahmatan lil 'alamin". Dalam ajaran Kristen, manusia adalah "imago Dei", citra Ilahi, sehingga tidak patut saling mencederai apalagi meniadakan.

Sahabat, kita di negeri ini memang berbeda dalam banyak hal, itu tak dapat diingkari. Tapi bukankah taman bunga menjadi indah mempesona karena beraneka kembang di sana?

Mari kita tetap saling menerima dan menghormati dalam "rumah bersama" kita yang besar dan indah ini: Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun