Sejatinya semua makhluk hidup di muka bumi saling bergantungan dan menguntungkan satu sama lain. Manusia dengan hewan, hewan dengan tumbuhan, dan tumbuhan dengan manusia. Naluri untuk saling membutuhkan ini yang tidak akan pernah bisa dipisahkan dalam sistem kehidupan dan akan seperti itu terus untuk selama-lamanya. Namun, kemudian seiring berjalannya ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul sebuah pertanyaan sekaligus isu yang berujung pada aktivitas revolusioner sekaligus pembelaan: hak asasi hewan.
Mungkin akan ada beberapa individu yang bertanya-tanya, apa maksudnya seekor hewan memiliki hak asasi? Sebab mereka tidak memiliki emosi, tidak memiliki kemampuan untuk berbicara menggunakan bahasa manusia, dan kehidupan mereka hanya terpusat pada siklus kelahiran dan kematian. Tentu akan terasa konyol jika membayangkan seekor harimau memasuki ruang pengadilan didampingi pengacara membawa kasus pengulitan kulit kaumnya oleh manusia untuk dijadikan mantel atau karpet, atau seekor orangutan meminta keadilan kepada hakim agung atas penebangan hutan semena-mena yang membuatnya harus hidup sebagai nomaden.
Namun contoh-contoh tersebut hanyalah perumpamaan, dan hak asasi hewan memiliki tujuan yang jauh lebih luas. Sesungguhnya butuh pemahaman mendasar supaya dapat mengerti alasan terbentuknya hak asasi untuk binatang. Mengutip environesia.com, isu hak asasi ini berawal dari Deklarasi Universal Terhadap Hak Asasi Binatang oleh UNESCO pada tanggal 15 Oktober 1978. Terdapat lima poin yang tertera di dalam deklarasi tersebut, dengan inti pesan antara lain bahwa tidak boleh adanya eksploitasi terhadap hewan dan tidak ada hewan yang diperlakukan secara buruk dan kejam serta seluruh hewan berhak atas kebebasan di lingkungan alaminya. Namun muncul lagi sebuah pertanyaan, apakah poin-poin yang tertera dalam deklarasi tersebut diterapkan secara baik di dalam kehidupan ini?
Tentu kita semua tahu jawabannya. Sudah tidak bisa dihitung dengan jari kasus-kasus yang melibatkan penebangan hutan, transaksi gelap kulit hewan, mempekerjakan hewan dengan jam kerja yang tidak wajar, dan kasus-kasus kejam lainnya. Di Indonesia sendiri, masih ada banyak kasus-kasus perdagangan satwa liar yang terjadi dengan bebas. Penyiksaan hewan juga masih sangat sering terjadi, sebagaimana tercatat oleh Social Media Animal Cruelty Coalition (SMACC) Report 2021 bahwa 5.480 video penyiksaan hewan dari seluruh dunia yang diunggah di media sosial. Indonesia sendiri menjadi kontributor video penyiksaan hewan terbanyak, yakni 1.626 konten atau 29,67% (Databoks.com).
Adapun dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi hewan, harus ada penerapan undang-undang yang tegas. Indonesia sendiri sudah mengatur hal tersebut lewat penetapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 302 dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. KUHP mengatur pelaku penganiayaan hewan ringan dapat dipidana penjara paling lama tiga bulan, dan untuk penganiayaan berat dapat dipidana paling lama sembilan bulan. Diharapkan hukum ini dapat diterapkan dengan semestinya demi kebaikan bersama.Â
Pada akhirnya, jawaban atas segala permasalahan hak asasi hewan tersebut hanyalah kesadaran diri, bahwa tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang berhak untuk melukai makhluk hidup lain, sebab hak asasi hewan adalah hak asasi untuk semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H