PADA suatu hari, entah apa pasal, seluruh binatang bisa berbicara. Benar-benar bicara. Dunia binatang geger, hiruk, bercampur panik. Harimau tak lagi bisa mengaum, ular kehilangan desis, serigala sulit melolong, burung-burung ingin sekali berkicau tapi tinggal bisu gagau, kuda terpaksa merangkak sebab semangatnya berlari cuma bisa bangkit dengan meringkik.
Seisi Rimba Raya bingung alang, termangu, tenggelam punca. Bukan berarti mereka –tentu yang dimaksud mereka di sini adalah kata ganti binatang ketiga, bukan orang ketiga— tak dapat bersuara sama sekali. Bukan. Semua hewan kini hanya bisa bersuara dengan bahasa manusia. Ini masalahnya. Keseimbangan alam terganggu. Jati diri perikebinatangan terancam berantakan.
Ayam setia terhadap panggilan takdirnya menjaga pagi, tetapi bagaimana kukuruyuk mesti dilafalkan dalam bahasa manusia? “Ah, jangan-jangan bahasa baru ini kelak malah menurunkan pamor kehormatan leluhur kita sebagai kontak terbaik matahari,” keluh seorang ayam, ups, maksudnya seekor ayam, galau.
“Kontaaak, kontak, kontak, kontak,” jawab ayam-ayam lain, tumpang tindih. Tak sekompak dahulu. Saat di mana hidup kaum ayam hanya diperjuangkan dengan menjunjung tinggi satu-satunya bahasa persatuan: koteeek, kotek, kotek, kotek. Ayam-ayam berpandangan satu sama lain. Mendadak keterasingan bagai hendak membuncah di tembolok mereka masing-masing.
Demikian juga jangkrik dan burung hantu yang sama-sama mengiringi nyayian malam. Sejak fenomena wicara-haiwani melanda umat animalia, keduanya rajin berunding untuk berkolaborasi menemukan sebuah senandung malam yang baharu, yang lebih melenakan kalbu pendengarnya. Tapi, wahai, senandung seperti apakah itu?
Semesta kata, berjuta lema, segunung kalimat, memadat sesak di kepala hewan-hewan, minta diucapkan, tapi bagaimana mengucapkannya dengan baik dan benar? Ya, baik dan benar. Peristiwa aneh bisa berbahasa manusia ini rupanya turut mengubah watak binatang. Mereka memiliki nalar, sekarang. Binatang akhirnya tahu: baik belum tentu benar, benar bukan serta-merta baik.
Hal ini pulalah yang dirasakan Singa, raja abadi kaum binatang yang tak tergantikan. Pada sebuah malam yang teramat sumbang –sumbang oleh koor parau jangkrik dan burung hantu yang tak kunjung padu itu-- Raja Singa mengumpulkan elite-elite terbaiknya. Kepada mereka, Raja Singa menitahkan tugas rahasia. Yakni, langsung mempelajari bahasa manusia dari alam manusia sendiri.
***
SINGKAT cerita, para kesatria bangsa hewan berhasil merampungkan misi peradaban mereka. Syahdan sang raja tak hanya melatih dirinya dengan keras mempelajari bahasa manusia, namun juga menerbitkan kamus, hingga membuka madrasah budi bahasa.
Di madrasah budi bahasa ini, seperti biasa, Raja Singa berdiri anggun di atas tahta berupa sebongkah batu yang dingin dan kelabu. Ia kini bukan lagi sekadar wali, tapi juga munsyi. Di hadapannya para binatang dari pelbagai habitat dan tabiat, menyimak ilmu dengan tunak.
Suasana belajar-mengajar kian asyik-masyuk, karena sesekali disampaikan Raja Singa melalui tanya-jawab dengan kesatrianya. Dan, di telinga para murid, setiap tutur kata sang raja dan bala-kesatrianya itu bagaikan bunyi lonceng yang bergema, membahana, membakar gairah mereka untuk segera piawai berbahasa manusia.