SETIAP pemimpin memiliki cogannya sendiri. Cogan lebih dari sekadar simbol legitimasi penguasa. Bukan pula secebis lambang kebesaran tahta titian diraja. Cogan adalah tentang bagaimana seorang pemimpin mengalun-jiwai kepemimpinannya.
Mengapa cogan yang menjadi salah satu ornamen vital regalia kemaharajaan sultan-sultan Melayu berabad silam itu berbentuk lekukan daun sirih? Boleh jadi karena kekuasaan tak lagi sanggup mendefenisikan dirinya sendiri. Oleh sebab itu manusia memerlukan lelambang pinuntun daun-daun. Sehelai daun meranting kuat pada suatu musim, tetapi juga segera terhempas bila kekeringan menjejas.
Peristiwa suksesi kekuasaan sesungguhnya juga tabiat daun. Yang menang mengukuh tumbuh, si kalah gugur terjatuh. Ketika khalayak kini riuh rendah membincang cogan masing-masing kontestan, saya mencoba menjeling pandang pada cogan yang lain. Sehelai cogan sunyi yang tenggelam dalam hingar-bingar Pilkada Kepri. Cogan Ahmad Dahlan.
Sebagai penulis sejarah, orang nomor satu Kota Batam ini tentu paham benar ihwal kecoganan. Tangan seorang sejarawan tak hanya memetik kuntum cogan dari tangkainya, namun juga sampai ke pokok yang paling jati. Dahlan menguasai Bahasa Arab dengan baik. Lisannya ringan mengurai etimologi sejarah yang berakar kata dari Jazirah Timur Tengah sana: ''as-sajarah'', yang berarti pohon-pohon.
Dahlan hafal, di balik epos tragedi perebutan cogan Tengku Husin versus Tengku Abdul Rahman abad 18, ada pohon-pohon berduri kolonialisme tempat Inggris dan Belanda menyamarkan tapak. Menunggu waktu yang tepat untuk saling menyamak. Dahlan mengerti, cogan hanyalah aksesoris keagungan zahiriah semata, karena sebenar-benar cogan telah bermukim di dada marwah Engku Puteri Hamidah walaupun langsung dari tangannya lempeng cogan dijarah penjajah.
Sejarah juga pohon minda. Di balik selindung pohon minda pulalah, Ahmad Dahlan beberapa waktu silam menulis kitab ‘’Sejarah Melayu’’. Benar-benar berselindung, sebab kabar berita peluncuran buku setebal 800-an halaman lebih itu sebelumnya nyaris a-historis. Tak ada angin cerita, tiada hujan kurenah. Wajar kala buku itu diterbitkan dari kerumunan terdengar pertanyaan: kapan seorang walikota punya waktu menulis? Terkadang, berbalut intonasi retoris yang lumayan sarkas, tanya itu menggema sebagai: kok bisa ya? Aih…
Jujur, saya sendiri waktu itu sebenarnya diam-diam mengutip Stan Lee, pengarang hampir semua komik superhero Marvel, dengan sedikit godaan waham wasangka. Ketika kau berhenti belajar, demikian kata Stan Lee, berarti kau berhenti memimpin. Adakah buku ‘’Sejarah Melayu’’, yang disempenakan tanggal peluncurannya bersama gelar doktoral yang juga baru didapatnya, boleh dibaca sebagai pemanasan pentas politik berjubah panggung budaya ala Dahlan?
Berulang-ulang senandika Stan Lee saya desiskan. Tentu dengan gairah selidik seorang jurnalis, yang biasanya sinis dipenuhi tafsir-tafsir seksi nan apatis. Semangatnya, konon, investigasi. Maka jadilah kutipan Stan-yang-bukan-Stan, quotes Lee-yang-entah-Lee: ketika (Ahmad Dahlan belum) berhenti belajar, berarti ia (belum sudi) berhenti memimpin. Begitu kira-kira.    Â
Bulan-bulan pun berlalu. Hingga tiba saatnya, semalam, harus saya akui, saat menyunting berita pencabutan nomor urut kontestan Pilkada Kepri, kemarin, saya bagai dipatuk kikuk: tak ada Ahmad Dahlan di barisan para calon itu. Itu sebabnya, dengan sedikit rasa bersalah, saya benar-benar ingin mengingat seorang Ahmad Dahlan kini sebagai budayawan, sejarawan, selain figur walikota, tokoh adat, pakar komunikasi, pun penggubah lagu. Maafkan aku, Stan Lee. Maafkan saya, Kanda Dahlan.
Ya, penulis sejarah. Penjaga pohon-pohon. Sejarawan yang baik tahu kapan ia berdepan-depan dengan narasi kekuasaan, kapan harus mengambil jarak. Sebab kekuasaan di ranah akal-budi seorang pengkalam sejarah bukanlah materi yang bebas disanjung angan. Bukan pula bahan-bahan yang mudah pupus ditiup angin. Sejawaran laksana seorang pencahari mata air seperti sebuah film Turki ''The Water Diviner'' yang diperankan dengan tulus dan manis oleh Russel Crowe. Pohon bukanlah segala-galanya, tapi mata air selalu ditemukan tatkala seorang pencari oase mengandalkan instingnya pada kehadiran sebatang pohon.
Mata air pencerahan seperti apa yang sesungguhnya ditemukan Ahmad Dahlan, sehingga di bawah pohon sejarah itu ia memutuskan untuk tak meramaikan gelanggang pilkada? Hanya ia yang tahu. Seribu bisik pasti mengusik: Dahlan tak bernyali, Dahlan tak berfulus lagi, Dahlan cari aman, pelbagai-bagai aneka praduga. Tapi cobalah sesekali melihat orang di bawah pohon, dengan memposisikan diri kita di bawah pohon yang lain juga. Niscaya akan segera tampak kebebasan yang bercengkerama dengan sesama kebebasan.