“Welcome, Andi… finally datang juga lo ke sini sama Lulavi.”
“Asalamualaikum, Om Anto.” Ujar Lulavi mencium tangan Om Anto.
“Wasalam, Lulavi.” Om Anto terlihat kikuk.
“Waalaikumsalam jawabnya, Om.” Lulavi tersenyum.
“Eh, Nto, mana Berry?” Ayah mulai terlihat bersemangat.
“Ada di dalam. Makanya, ayo kalian masuk.”
Lulavi terus menundukkan kepala saat berjalan melewati taman rumah Om Anto. Ia tidak kuasa melihat banyaknya pasangan yang bergandengan tangan, berpelukan. Belum lagi perempuan-perempuannya banyak yang membuka aurat mereka. Sesekali, perempuan-perempuan itu pun memperhatikan Lulavi. Lulavi sudah biasa diperlakukan seperti ini. Kala menemani Ayah menonton konser pun Lulavi diejek oleh Berry.
Lulavi dan Ayah mulai memasuki ruang makan rumah Om Andi. Ruang makan yang sangat luas dan bagus. Om Andi memang kaya. Dari sekian banyak teman-teman Ayah, Om Andi-lah yang paling kaya. Maka, tak heran kalau banyak teman-teman Om Andi, termasuk Ayah, meminta pertolongannya.
“Lulavi… udah besar ternyata kamu, ya?” sumringah seorang wanita paruh baya bernama Tante Kina.
“Iya, tante. Tante apa kabar?” Lulavi mencium pipi kanan dan kiri Tante Kina.
“Baik. Duuh… Tante enggak nyangka kamu bakal secantik ini.”