Malim Dahulu Dan Sekarang
Oleh : Rammen Andino Sinaga
Matahari belum terbit,dari peraduaanya pagi itu,seaakan – akan tidak mampu menggambarkan semangat para wanita batak itu untuk berbaris di depan Kayu Baringin ( Borotan ) lengkap dengan ulos dan baju putih bersih,yang menggambarkan kesucian hati ,para kaum bapak lengkap dengan ikat kepala putih dan ulos wujud keperkasaan para kaum bapak di kaum ini.
Mereka memasuki Bale Parsaktian ( Rumah Ibadat ) setelah melepaskan alas kaki. Tidak seperti namanya, jangan mengira di dalamnya terdapat benda- benda sakti seperti keris pusaka . Rumah ibadah ini nyaris kosong melompong, bahkan satu kursi pun tidak ada. Umat Parmalim cukup duduk bersila pada tikar yang terbentang di lantai. Tetua maupun muda, lelaki atau perempuan — wajib memakai kain sarung.Ulu balang ( pemuka agama ) Pun sudah bersiap dengan tongkat kesaktiannnya ( Tunggal panaluan) turunan yang terutama dari Oppung Debata Mulajadi Nabolon ( Tuhan Yang Maha Esa).
Pagi itu seakan – akan,aku mengerti arti sebuah kesucian,kerendahan hati dan kerelaan berkorbaan.Pagi itu juga aku mengerti bahwa hidup ini adalah sebuah proses penantian menuju kerahmatan yang sempurna,dan hidup adalah sistem yang diatur yang maha kuasa.Dan pagi itu aku yakin bahwa Batak juga bukan penolak emansipasi wanita yang sesungguhnya.
Pagi itu,saya ada di sebuah perkampung ( huta ),tempat peribadatan agama pertama dan menjadiagama kesukuaan dari batak toba sendiri.Parmalim atau malim.Malim dahulu dan sekarang adalah sama,agama kesukuaan yang menjujung kerahmatan yang sempurna dari proses pensucian diri dan kerelaan berkorbaan.
Desa Huta Tinggi,Kecamatan Laguboti,Kabupaten Toba Samoir,Provinsi Sumatera Utara,menjadi saksi hidup kearifan lokal dan junjungan budaya itu sendiri.Kampung itu seaakan-akan telah lama menyimpan segudang cinta dan asa akan budaya bangsa dan budaya lokal adat batak.
Sedikir bercerita asal mula lahirnnya Parmalin sebagai agama kesukuuan yang terutama dalam bangsa batak,yakniUgamo diartikan suatu kumpulan orang yang melakukan aksi membentuk hubungan dengan Penciptanya. Raja Mulia yang menerima amanah sedikit ragu atas kemampuannya, hingga beliau ditemui oleh seorang sosok yang kumal. Beliau menagih janji untuk melembagakan hamalimon yang disebut UGAMO MALIM.
Ketika Raja Mulia hendak mengucapkan kata pernyataannya siapa diri yang menemuinya, beliau spontan menghentikan dan mengenalkan diri “Nasiakbagi” tidak memiliki harajaon, dan harta benda serta kampung halaman Munculnya Raja Nasiakbagi semakin menguatkan keyakinan Raja Mulia Naipospos akan pesan yang telah diamanatkan Raja Sisingamangaraja sebelumnya.
Raja Nasiakbagi menyerahkan konsep pengorganisasian dan ajaran Ugamo Malim sesuai dengan apa yang diterimanya dari Raja Sisingamangaraja. Raja Nasiakbagi selalu menolak apabila dirinya dianggap sosok Raja Sisingamangaraja XII ataupun penjelmaannya. Beliau selalu mengatakan bahwa Sisingamangaraja sudah berada disisi Mulajadi Nabolon. Hubungan dengan Mulajadi Nabolon disebut “Ugamo” inti ajaran dalam menjalankan hubungan itu disebut “Hamalimon”.
Pengertian “Malim” ada dua bagian: “Malim” sebagai sifat dasar yang dituju, berawal dari “Haiason” dan “Parsolamon”. Yang kedua adalah “Malim” sebagai sosok pribadi.Haiasaon diartikan kebersihan. Kebersihan fisik dan rohani. Parsolamon diartikan membatasi diri dari menikmati dan bertindak Ada beberapa pribadi leluhur di tanah batak yang dianggap sebagai Malim, yakni Raja Uti, Simarimbulubosi dan Sisingamangaraja.Mereka menganjurkan panyampaian persembahan kepada Mulajadi Nabolon yang disebut Pelean Debata “na ias jala malim” bersih dan suci. Pelaksanaannya diawali dari pribadi (keluarga) seperti penyampaian “patumona ni naniula” kegiatan se kampung yang merupakan klan dalam satu parsantian.
Biasanya kumpulan satu rumpun keluarga semarga termasuk boru dan paisolat (pendatang).Persembahan suci sebagai ucapan syukurkepada Mulajadi Nabolon dilakukan pada Upacara Bius dengan persembahan kerbau yang disebut Horbo Santi atau Horbo Bius.Horbo Santi, seekor kerbau (sitingko tanduk siopat pusoran) pilihan bertanduk bulat dan empat pusar. Kerbau ini dipelihara berbulan-bulan sebelum dipersembahkan. Kerbau ini bila masuk kehalaman orang, dianggap anugerah, bila masuk ke kebun tidak didenda.
Pada dasarnya kita bisa memastikan,bahwa malim adalah sesuguhnya agama tradisonal orang batak itu sendiri.Ketika ku beranjak dari peraduan malam itu,mungkin hati ini berpikir sejenak tentang mereka,malim adalah sebuah perkumpulan manusia yang berkapur sirih,para ahli tenun dan santet.Tetapi setelah akau datang di tempat ini semua seaakan – akan sirna begitu saja.Mereka adalah sosok yang bersahaja,ramah dan simpatik.
Pagi itu,sedang ada ritual pengorbanan diri,sebagai bentuk pensucian diri kepada sang khalik menurut agaman mereka,yaitu “mangalang napaet “Parapenganut Hamalimon Batak mengkristal dalam sebutan “Parmalim” sejak tahun 1910 keatas. Parmalim melambangkan peringatan “kepahitan” yang dialami para Malim dengan “Napaet”. Napaet merupakan gabungan dari tumbuhan yang mengandung pahit, asam, pedas, kelat dan asin.
Napaet juga melambangkan penderitaan para pengikut malim itu, yaitu yang menyebut dirinya saat ini Parmalim.Napaet memiliki pemaknaan yang lebih luas lagi. Napaet yang dialami para Malim adalah karena upaya mereka menegakkan hukum kebenaran bagi bangso Batak. Sementara napaet yang dialami oleh pengikutnya dibagi dalam dua bagian pengertian. Pertama , karena kesetiaannya mengikuti ajaran Malim sehingga sering mengalami penindasan oleh orang-orang disekitarnya, terfitnah dan dituding “sesat”. Kedua, adalah akibat dari kesalahannya sendiri terhadap hukum yang telah ditegakkan para Malim, yang melakukan tindakan yang dapat merusak keutuhan Hamalimon dan berdampak kepada kerusakan tatanan kemanusiaan. Ini disebut “dosa”.
Perbuatan dosa itu yang disadari terakumulasi selama satu tahun berjalan, direnungi dan dimohon pengampunan dalam bulan hurung hari hurung. Napaet sebagai media pendekatan segala rasa yang ada pada indera manusia, dengan tidak mengkonsumsi makanan keseharian selama 24 jam akan mengantarkannya ke ruang yang lebih “rohani” dan khusuk mohon pengampunan. Inilah puncak pengajaran “marsolam diri”, membatasi diri dari tuntutan duniawi.
sebagi sebuah bentuk peyesalan dan pengorbanan yang tinggi kepda sang khalik,mangalang napaet ini dimulai dengan ritual puasa dimalam hari sampai pada waktu berbuka puasa menurut penghitungan para penatua ugamo malim.Sekali lagi kesederhanaan ugamo malim kembali terbukti dengan menu buka puasayang sangat sederhana dan jauh dari kesan mewah dan menarik untuk disantap setelah satu hari berpuasa yakni Sembilan (9) jenis bahan makanan yang sangat pahit jika disantap,yakni salah satunya adalah Gori “ nangka muda”,pohon kates,ingir – ingir dan Rimbang.dan bahan lainnya.Inilah sebuah bentuk pengorbanan yang merupakan landasan rendah hati mereka dalam bertindak.
Esensi dari kesederhanan mereka dan kesucian yang mereka anggap adalah,setelah ritual mangallang napaet “ makan yang pahit”,ritual selanjutnya adalah mangallang na tonggi “ makan yang manis” setelah mereka melewati puasa dan ritual mengenang sengsara raja nasia bagi,mereka akan merayakan kemenagna secara rohani yakni makan yang manis,disini akan dihidangkan makanan – makanan yang lezat tentunya yang sesuai dengan ajaran ugamo malim,pada dasarya ugamo malim tidak makan darah hewan baik dalam bentuk apapaun,karena yang menjadi subang “pantang “ raja nasiak bagi ketika hidup adalah darah,dan karena darahlah raja nasiak bagi ini meninggal dipangkuan anak perempuannya.
Setelah mensucikan makanan dari darah sebagai komponen dasar yang hakiki dari manusia,makan mereka selalu mensucikan makanan mereka denganmanguras “ memercikan air suci “ kepada hewan yang ingin di sembelih,agar berkenan di hadapan mulajadi nabolon sebagi dasar pemilik kehidupan Ini.
Setelah ku melihat kesucian hati mereka dalam beribadat kepada Tuhan yang mereka kenalan,ada kegelisahan di hati mereka yang tamapk.Ketika budaya yang mereka junjung dianggap sebagai salah satu bentuk dari menduakan Tuhan di hadapan dunia ini,bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa kebenara tidak terbatas hanya kemampuan manusia yang mengukur kebenaran itu terbatas.Mereka terjadang dianggap sebagai manusia yang tidak mengenal Tuhan,Bukankah Agama ada untuk tidak menjadi kacau balau.
Ugamo Malim pada dasarnya tidak menjadi batu sandungan bagimereka yang ada disekitarnya.jadi mengapa mereka dianggap sebagai batu sandungan.Satu hal yang sering diangkat.Tapi satu hal yang membuat saya bingung ketika saya bertanya kepada mereka,apakah yang menjadi kegagalah hati mereka
Ketiaka sudah 68tahun lamanya Indonesia merdeka; sudah selama itu pula Undang-Undang Dasar kita menjamin kebebasan beragama; tapi sampai kini masih ada kelompok warga yang belum diberi kemerdekaan sepenuhnya dalam urusan agama. Satu dari sekian kelompok itu ialah para penganut Ugamo Malim lebih dikenal sebagai Parmali yang oleh pemerintah tidak diakui sebagai agama resmi, melainkan aliran kepercayaan.
Memang mereka bebas menjalankan ritual agamanya. Namun saat berhadapan dengan aparat pemerintahan, mereka tidak merdeka. Contohnya saat mengurus surat-surat kependudukan, mereka terpaksa memilih agama lain : biasanya Islam atau Protestan. Tentu tak terbayangkan betapa sakitnya batin mereka karena harus membohongi nurani sebagai pengikut Parmalim.
Tetapi satu hal yang saya ingat dari parmalim ini Parmalim tidak mengenal konsep panti karena dalam budaya batak adat do palumehon pinahan, alai tihas do palumehon jolma. Memeliharakan ternak adalah biasa dengan konsep bagi hasil, namun memeliharakan (karena cacat, miskin dan jompo) manusia adalah pantangan besar.
Bentuk apa pun manusia yang dianugerahkan kepada keluarga adalah menjadi tanggungjawabnya dan komunitasnya. Konsep itu tetap hidup dalam Parmalim sehingga warga Parmalim dalam keadaan apa pun tidak dianjurkan masuk panti asuhan dan tidak berusaha membentuk panti. Kehidupannya dijamin dengan adanya Ugasan Torop.Pengurusnya tidak mendapat insentif dari perkembangan harta ini karena berprinsip mengabdikan diri terhadap pesan Raja Sisingamangaraja - Raja Nasiakbagi.
Para Pengelola Ugasan Torop ini disebut juga Suhi Ni Ampang Naopat. Mereka ada di setiap cabang dan mengelola secara mandiri. Di Pusat disebut juga Suhi Ni Ampang Naopat, tugasnya mengevaluasi perkembangan Ugasan Torop dan melakukan kebijakan croos subsidi. Bila di salah satu cabang ada masalah yang harus disantuni Ugasan Torop dan harta mereka tidak mencukupi, kas dari cabang lainnya dapat digunakan untuk mengatasi masalah itu.
Ugasan Torop banyak digunakan sebagai modal awal keluarga baru yang memulai kehidupan baru sehingga semakin berkembang. Pengelolaannya pun semakin berkembang, yang semula orientasi sosial semata, namun karena memberi kehidupan yang lebih baik oleh yang menggunakannya sehingga lajim memberikan “ginurgur” bagian dari laba usahanya yang tidak dipatok.
Ugasan Torop juga diaturkan untuk mendapatkan “todoan” dari penjualan ternak, upa raja (bila raja mendapatkan upah dari pelaksanaan tugasnya) dari ragi-ragi ni sinamot (dari penerimaan harta pauseang dan panjaean pada saat dilakukan perkawinan. Saat ini dalam pengertian yang berbeda disebut sinamot). Intinya adalah bila warga Parmalim mendapatkan rejeki halal, sepantasnya memerikan “todoan” ke Ugasan Torop agar semakin berkembang.Target dalam pengertian yang lebih luas, Ugasan Torop diharapkan mampu menyantuni warga (seluruhnya) bila mengalami kegagalan panen, atau usaha sehingga terancam kehidupan dasar sehari-hari selama satu tahun berjalan.Ugasan Torop telah pernah membantu korban gempa di Tarutung melalui satkorlak, dan menampung pengungsi korban gempa itu di kompleks Bale Pasogit. Juga memberi bantuan kepada korban kebakaran di Porsea.
(Ugamo Malim) memang tidak tercatat sebagai agama di Indonesia dan hanya diakui sebagai aliran kepercayaan di bawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Namun hingga kini, kepercayaan yang dianut Sisingamaraja ini tetap terjaga di Tanah Batak, tepatnya di Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Bahkan, penganutnya sudah menyebar ke seluruh Indonesia dan mencapai lebih dari 1.500 orang.
Rumah ibadah Parmalin adalah Bale Pasogit. Di atas bubungan Bale Pasogit terdapat replika tiga ekor ayam, masing-masing berwana merah, hitam, dan putih. Merah melambangkan keberanian, hitam adalah tahta kerajaan, dan putih adalah tanda kesucian. Konon katanya, ayam adalah binatang yang kerap dibawa Sisingamangaraja saat akan berperang melawan kolonial Belanda.Tiap tahunnya, agama ini melaksanakan ritual keagamaan Pamaleaon Bolon Sipaha Lima. Biasanya, dalam ritual ini, seluruh penganut kepercayaan Parmalim dari penjuru Indonesia bahkan luar negeri akan berkumpul di Desa Huta Tinggi untuk memanjatkan rasa syukur kepada Tuhan Debata Mulajadi Na bolon atau Sang Pencipta, atas berkah yang diberikan selama setahun.
Apapun yang sebetulnnya,yang menjadi tradisi mereka dalam menjani proses yang ada.Satu hal yang mereka inginkan kebebasan beragama itu menjadi suatu hal yang pastinnya mereka ingin bahwa hakikat mereka sebagaiugamo malim diaukui di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H