[caption id="attachment_154717" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]
Ketika kita mengkritik sebuah tulisan, ada baiknya dibuat unsur ulasan yang memang ditempatkan pada dimensi yang tepat, sehingga kelemahan sebuah tulisan yang kita kritik akan lebih kentara perbedaannya, dimana saja letak kelemahan dan kelebihan tulisan tersebut yang ada di dalamnya. Kemudian berikan contoh pembanding sebuah karya yang nafasnya hampir sama dengan tulisan yang dikritik. Jadikan pembanding tersebut sebagai suatu perbandingan yang memang benar-benar sebagai bahan pembanding yang bisa kita usung dan dapat kita pertanggungjawabkan. Sehingga kritikan bisa lebih bermakna dan bervariasi. Mengkritik, menurut saya harus memenuhi unsur standart dimensi ruang, waktu, dan tempat. . Memang, sering sekali seorang kritikus ditantang untuk berkarya, padahal mungkin seorang kritikus hanya murni memiliki wawasan dalam bidangnya, namun bisa juga seorang kritikus bukan merupakan pencipta karya, bisa jadi dia hanya mempunyai kemampuan pengamatan yang tajam terhadap sebuah karya. . Yang terpenting bahwa sebuah kritikan tidak menunjukkan sifat "Jumawa" (istilah bahasa Jawa, mohon maaf, saya kurang tahu persis entah apa padanan kata yang tepat kedalam Bahasa Indonesia) dan jangan ada unsur pendiskreditan terhadap orang, apalagi menuding (dengan telunjuk jari) batang hidung orang yang kita kritik, sementara kita mengkritik dengan kritikan yang hanya dalam bentuk tulisan. . Saya cendrung lebih suka mengkritik orang dengan bahasa lisan secara langsung "face to face" daripada mengkritik memakai bahasa tulisan. Karena diantara keduanya terdapat perbedaan yang amat sangat-sangat tajam. Bahasa lisan dalam menyampaikan pesan pada bentuk kritikan lebih terasa sampai ke poin-poin permasalahannya, dikarenakan ada intonasi suara yang mendukung sampai atau tidaknya pesan tersebut kepada orang yang kita kritik. Apalagi dengan intonasi, penuh dengan rasa ikhlas, penuh dengan rasa kasih sayang, dan tanpa adanya unsur arogansi di dalamnya. Dengan demikian penyampaian pesan dalam bentuk bahasa lisan akan sampai kepada lawan bicara kita, pasti lebih jelas dan lebih mengena sampai ketujuan. . Sementara jika mengkritik lewat bahasa tulisan, bagi saya jelas akan lebih sulit. Dikarenakan pembicaraan yang satu arah. Kritikan dalam bentuk bahasa tulisan belum tentu bisa sampai ke tujuan dengan penerimaan persepsi yang sama seperti apa yang tersirat. Karena pemahaman masing-masing orang sangat berbeda dalam memahami sebuah bahasa tulisan, dikarenakan banyak faktor yang menyebabkan sehingga timbulnya multi tafsir berdasarkan tingkat pemahaman berdasarkan pengetahuan masing-masing orang yang membaca tulisan tersebut. . Memang, apabila ingin menulis sesuatu yang sesuai seperti apa yang diinginkan, walaupun dalam bahasa tulisan terdapat perangkat pembantu dalam penulisan kata-kata dan cara menuliskannya, yaitu dengan adanya "tanda baca" titik koma dll, lagi-lagi yang namanya bahasa tulisan, walaupun sudah dilengkapi dengan tanda baca, masih saja belum lengkap untuk bisa dipahami secara tepat apa yang tersirat persis seperti apa yang tersurat. Karena seperti yang sudah saya sebutkan di atas bahwa pemahaman seseorang tentang sebuah pesan dalam bahasa-bahasa tulisan sangatlah bervariasi sesuai dengan tingkat pengetahuan orang yang membacanya (si pembaca pesan). . Jadi, faktor intonasi dalam berbicara bahasa lisan untuk menyampaikan kritikan sangatlah berpengaruh bagi pendengar pesan dalam mencerna makna dari sebuah kritikan. Dan kritikan dalam bentuk bahasa-bahasa lisan akan cendrung dapat diterima dan dipahami dengan penuh makna.
Sementara kritikan dalam bentuk tulisan, pemahamannya bahasa tulisan sangatlah berbeda penerimaannya jika dibanding pesan dalam bentuk bahasa lisan. Kritikan dalam bentuk bahasa tulisan akan lebih cenderung menimbulkan multi tafsir bagi pembacanya.
Tentang "jumawa", kata ini adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Jawa. Namun mohon maaf (khusus saya pribadi) saya kurang tahu apa terjemahannya di dalam bahasa Indonesia. Saya dapat merasakan makna (bermakna) yang terkandung di dalamnya. Setahu saya atas penjelasan seorang teman, jumawa itu adalah sikap merendahkan orang lain, meninggikan dirinya, atau yang mirip-mirip itulah.
Utamanya pada kata "jumawa" itu bagi kritikusnya, tapi jauh lebih dalam lagi adalah "persoalan yang menimpa mereka yang dikritik". Yang mengkritik (mengritik?), sih, tidak punya soal dalam rasa dirinya, sudah mengkritik ya sudah, selesai.
Nah yang punya masalah kemudian adalah orang yang mendapat kritikan, sebab sedikit banyaknya mereka menjadi terusik perasaannya. Dikatakan demikian sebab hal ini "jauh lebih dalam maknanya", karena menyangkut masalah "kesediaan" menerima masukan dan soal "kerendahan dan kebesaran hati", soal "perlunya sedikit menunduk dan bahkan membungkuk", tepho-tepho bahasa Jawa-nya.
Disitulah permasalahan pokok yang terdapat dalam hal kritik mengkritik bagi para pihak, apalagi dalam bentuk tulisan. Semoga semua pihak dapat memahami suatu krtikan yang di terima masing-masing pihak dengan apa adanya tanpa adanya perasaan jumawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H