Mohon tunggu...
Rizal Amirul Falah
Rizal Amirul Falah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hukum UNISSULA

Seseorang yang suka menyendiri dan suka membaca.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukuman Potong Tangan Pelaku Pencurian dalam Perspektif Hukum Islam

28 April 2023   08:58 Diperbarui: 28 April 2023   09:04 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pencurian secara etimologis yaitu, berasal dari kata saraqa yasriqu-saraqan, wa sariqan wa saraqatan, wa sariqatan wa sirqatan, yang berarti mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi atau secara terang-terangan (Al-Gustami, 1957). Ulama mengkategorikan pencurian ke dalam 2 bagian, yaitu pencurian kecil dan pencurian besar. Menurut Abd Al Qadir Audah, pencurian kecil adalah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi (Hauda), sedangkan menurut Al Sayid Sabiq pencurian kecil adalah pencurian yang wajib divonis dengan potongan tangan (Sabiq). Adapun pencurian besar menurut Abd Al Qadir Audah dan Al Sayid Sabiq adalah mengambil harta orang lain dengan kekerasan dan ini disebut juga dengan merampok atau begal (Sabiq).
Pelaku pencurian dapat diancam hukuman apabila memenuhi unsur pencurian, yaitu:
a.Tindakan mengambil secara sembunyi-sembunyi
b.Unsur benda yang diambil berupa harta
c.Unsur benda yang diambil adalah hak orang lain
d.Adanya niat yang melawan hukum
Adapun bila tindakan pencurian telah terbukti dan telah memenuhi unsur maka sanksi pencurian dapat diberikan. Ulama telah sepakat bahwa sanksi pencurian adalah potong tangan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. Al Maidah ayat 38, "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana".
Potong tangan merupakan sanksi yang sangat asas (mendasar) dalam pencurian. Sanksi ini tidak boleh diganti dengan sanksi lain yang lebih ringan daripadanya. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW riwayat Imam Muslim, "Dari Aisyah R.A. Sesungguhnya Rasulullah bersabda, Apakah engkau meminta syafaat dari had-had Allah? Kemudian Rasulullah SAW berkhutbah lalu bersabda wahai sekalian manusia, sesungguhnya hancurnya orang-orang sebelum kamu, bahwasannya keadaan mereka apabila orang terhormat mencuri, mereka meninggalkannya (potong tangan). Dan apabila kaum du'afa mencuri mereka menegakkan sanksi potong tangan kepadanya". (H.R. Muslim).
Sanksi tersebut dikenakan terhadap pencuri yang syarat dan rukun pencurian terpenuhi secara sempurna dan seandainya tidak terpenuhi, maka sanksi hukumannya adalah ta'zir. Dalam pandangan Quraish Shihab, tidak semua pelaku pencuri otomatis tangannya harus dipotong, melainkan harus dilihat berapa nilai barang yang dicurinya serta di mana barang itu dicuri. Jumhur ulama berpendapat bahwa hukuman potong tangan hanya dilaksanakan kepada pelaku pencuri yang harta curiannya sampai seperempat dinar atau yang nilainya seperempat mitsqal emas murni (1/4 mitsqal emas setara dengan 0.9695 gram) atau tiga dirham perak (3 dirham perak setara dengan 8,145 gram) berdasarkan hadis Aisyah (Rahmi, 2018). Hal ini dapat disimpulkan mayoritas ulama berpendapat bahwa nisabnya adalah seperempat dinar, sehingga tidak dapat dilakukan hukuman potong tangan jika tidak sampai seperempat dinar.
Mengutip pendapat Imam Sya'rawi, seperempat dinar atau tiga dirham setara dengan 60 dollar amerika. Selain itu juga, dalam Al-Qur'an menggunakan kata sariq (sang pencuri) yang memberikan kesan bahwa yang bersangkutan telah berulang-ulang mencuri. Berbeda seandainya jika menggunakan kata yasriq (yang mencuri).
Sanksi pencurian juga dapat dihindari saat krisis ekonomi berlangsung, sebagaimana kebijakan Sayyidina Umar R.A. Pada tahun XVIII H, kala itu krisis pangan sangat mencekik masyarakat. Ini membuat jatuhnya sanksi potong tangan menjadi amat sangat langka. Terlebih, jika mengatakan kesulitan yang mencekam tidak hanya pada peristiwa yang menyentuh semua masyarakat, tetapi juga yang dapat dialami oleh setiap orang yang benar-benar terpojok. Menurut Muhammad Quthub, sepanjang 400 tahun sejak datangnya islam, hanya enam kali sanksi potong tangan diterapkan.
Jika hukum potong tangan yang menjadi ketentuan syariat islam untuk mewujudkan kemaslahatan di antara manusia tidak memungkinkan lagi untuk diterapkan, maka harus dikembalikan lagi kepada nilai prinsipnya. Sehingga, memungkinkan untuk menerapkan bentuk hukum yang lain. Dengan catatan tidak keluar dari ruang lingkup tujuan syari' atau ruh tasyri' (pembentukan hukum) dan kemaslahatan umat. (Al-Manhaj Al-Ushulliyah:3 dan Fiqh Progresif:1312).
Lantaran kebijakan umar tersebut dalam memahami sanksi pencurian tahu dengan betul tujuan dari pensyariatan islam, bukan kaku dalam menerapkan hukum-hukumnya. Kalau pun melihat konteks di Indonesia yang menerapkan sanksi penjara 10 tahun bagi pelaku tindakan kriminal pencurian, hal ini tidak bertentangan dengan nilai prinsip islam yang berupa efek jera bagi pelaku tindak kejahatan dan kemaslahatan umat. Sebagian ulama juga menjelaskan bahwa perintah "potonglah kedua tangan" merupakan makna majazi, yaitu lumpuhkan kemampuannya. Pelumpuhan yang dipahami para ulama yaitu penjarakan pelaku. Tangan dimaknai sebagai kekuasaan, maka cara meminimalisir kekuasaan atau potensi para pelaku pencurian adalah dengan dipenjarakan. Upaya memenjarakan juga sama maknanya dengan memotong potensi seseorang untuk melakukan pencurian.
Maka dapat dipahami bahwa kasus pencurian memiliki syarat yang ketat dan alasan yang jelas, sehingga hukum tersebut dapat ditegakkan. Di satu sisi juga, ada yang memahami bahwa sanksi hukuman potong tangan ini adalah batasan maksimal, yaitu hukum yang tertinggi, sehingga hakim dapat mengambil ta'zir (kebijakan) berdasarkan illat (sebab) yang berlaku.
Selain itu, ada beberapa hal untuk menggugurkan hukuman potong tangan pelaku pencurian menurut hukum islam. Awdah menyebutkan ada enam hal yang menggugurkan hukuman potong tangan pelaku pencurian (Zein):
•Pemilik harta membantah pengakuan (ikrar) seseorang atau kesaksian para saksi
•Ada pemberian maaf dari pihak yang di rugikan
•Seseorang membatalkan ikrarnya
•Pihak pelaku pencurian mengembalikan harta yang dicurinya kepada pemilik sebelum pengaduannya sampai ke pengadilan
•Harta benda yang dicuri itu kemudian menjadi milik pihak pencuri sebelum kasus tersebut diangkat ke pengadilan
•Pihak pencuri mengklaim bahwa harta yang dicurinya itu adalah hak milikinya.


Penulis :

Rizal Amirul Falah ( Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang )  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun