Mohon tunggu...
Ramdhani Adinegoro
Ramdhani Adinegoro Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa UIN SUNAN KALIJAGA semester 1 TA 2013/2014 fak. Ilmu Sosial dan Humaniora. prodi Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potret "Pulang Kampung" di Indonesia

21 Desember 2013   23:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:39 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara pulang kampung, yang terlintas dipikirkan kita adalah berdesak-desakan, antrian panjang di terminal, berburu tiket, bawaan barang yang banyak, liburan panjang, macet, ramai, terminal dan stasiun padat, berkunjung ke teman-teman lama, berkumpul dengan sanak keluarga, nyekar ke makam kakek-nenek, dan sederet kondisi istimewa lainnya yang jarang kita jumpai di hari-hari biasanya.

Orang-orang bersemangat menabung mengumpukan uang sebanyak-banyaknya untuk bekal pulang kampung, maksain membeli oleh-oleh untuk keluarga di kampung, naik pesawat, naik kapal laut, naik kereta, naik bus, naik mobil bahkan naik motor dilakuin yang penting bisa pulang kampung.

Namun, tidak sedikit dari kita yang gagal atau tidak bisa pulang kampung karena persoalan perbekalan yang kurang memadai. Keterbatasan perbekalan menjadi persoalan besar manakala seseorang melakukan perjalanan ke kampung halamannya. Rasanya tidak enak hati, jika bertemu dengan sahabat-sahabat lama kita di kampung tidak membawa sesuatu untuk diberikan kepada mereka.

Pulang kampung merupakan momen yang ditunggu-tunggu banyak orang. Bertemu dengan keluarga, teman-teman dekat yang sudah lama tidak berjumpa adalah saat yang paling indah dan menyenangkan. Mereka bisa bertukar cerita dan pengalaman istimewa mereka pada saat pulang kampung. Sesekali mereka tertawa lepas dan mengobrol bersama dengan suasana akrab, hangat, dan penuh kekeluargaan.

Kerinduan dan kekangenan yang sangat, pada kampung halaman akan muncul manakala kita tidak berkunjung kesana dalam waktu yang lama. Kampung halaman menyimpan setumpuk kenangan indah dan tampaknya sangat sulit untuk kita hapus dari memori ingatan kita. Tidaklah mungkin, kita harus melupakan tempat dimana kita dilahirkan, dibesarkan bahkan bergaul di dalamnya selama kurun waktu tertentu.

Kacang jangan lupa akan kulitnya, begitulah perumpamaan populer yang sering digunakan untuk menyindir orang-orang yang sudah atau berlagak lupa darimana dia berasal. Banyak contoh dari mereka yang berlagak pilon tentang tempat dimana mereka dilahirkan, mereka khawatir turun harga, nama baiknya jatuh, merasa gengsi kalau orang-orang lain tahu mereka adalah wong deso.

Orang-orang yang selalu ingat akan kampung halamannya adalah salah satu ciri kelompok orang yang pandai bersyukur. Kemudian persoalannya adalah bagaimana orang yang tidah punya kampung halaman, maksudnya mereka tidak pernah pulang kampung karena mereka bukanlah perantau. Mereka dilahirkan, dibesarkan, dan bergaul, sejak kanak-kanak di tempat itu. Bahkan dari kakek dan kakeknya lagi lahir di tempat itu. Apakah mereka tidak termasuk kelompok orang yang pandai bersyukur?

Orang-orang yang tidak punya kampung halaman alias bukan pendatang semestinya lebih bersyukur, karena mereka tidak perlu repot-repot menabung uang, berdesak-desakan antri karcis, macet, berjubel di terminal, dan situasi-situasi yang menyesakan lainnya. Namun demikian, mereka jangan terlena, bagi mereka yang tidak punya kampung halaman atau penduduk asli, ternyata mereka harus pula menabung atau mempersiapkan bekal sebanyak-banyaknya, karena pada suatu saat nanti mereka juga harus dan sudah sangat pasti akan menuju ke kampung mereka.

Banyak diantara kita yang lupa, bahwa kita semua ada di seluruh jagat raya ini, akan pulang kampung untuk bertemu dengan Dzat yang serba Maha. Semua makhluk-Nya akan berkumpul, berjubel, berdesak-desakan di kampung itu. Bagi mereka yang membawa perbekalan yang banyak, tidak menampakkan wajah gelisah dan cemas. Mereka siap, menyampaikan perbekalan yang mereka tabung selama bertahun-tahun ketika mereka hidup di dunia kepada pemilik kampung itu, yaitu Allah swt.

Bekerjalah kamu dengan sungguh-sungguh seolah kamu hidup selamanya

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun