Oleh: Ramdhani Nur
[caption id="" align="alignnone" width="450" caption="prenjak"][/caption]
Inge melongok kembali ke arah beranda samping rumah. Ini kali keempat. Empat kali pula dia masih melihat tubuh Fawaizzah terduduk di situ sedari pagi. Selalu begitu. Tak terlewat tiap harinya. Inge bukannya tak memahami permasalahannya, dia tahu benar. Semua karena lelaki yang begitu dicinta putrinya. Hadi. Mestinya Fawaizzah paham pula, jika cinta memang pernah membuatnya bahagia, dia pasti akan melukai pada saatnya nanti. Inilah saatnya. Dan Fawaizzah kehabisan cara untuk mengerti. Kenapa air mata yang begitu dia benci, kerap hadir mengaliri.
“Kau belum makan juga, Zah?”
Dihampirinya gadis yang tetap menerawang jauh pada rimbunnya pepohonan di hadapannya. Inge memutar bahunya hingga tepat berhadapan dengan wajah Fawaizzah yang telah basah. “Jangan terus menyusahkan dirimu!”
Satu bulir air mata terakhir di pipinya hilang, terhapus oleh jemarinya. “Nggak apa-apa, Bu! Izah hanya belum lapar saja.”
Hening kemudian menghampiri, hingga cicip kecil dari dua ekor prenjak yang turun beristirahat di dahan akasia itu terdengar begitu halus. Ingatan Fawaizzah seperti dikembalikan pada kenangan. Burung prenjak itu selalu hidup berdua. Jika salah satunya pergi, maka dunia akan dibisingkan oleh cicipannya. Karena dia tak pernah berhenti melakukannya sampai salah satunya kembali*. Begitulah Hadi pernah berucap. Tepat di beranda ini. Tepat sebulan yang lalu. Kenangan itulah yang kerap merobek cinta dan kesetiannya. Kali ini Fawaizzah merasa menjadi prenjak yang kehilangan salah satunya, menangis tak henti menunggu sampai akhirnya kembali.
“Mengapa dia begitu tega melakukan ini, Bu? Tidakkah dia sadar ini akan meninggalkan duka sepanjang hidupku?”
“Izah….”
“Kenapa dia begitu egois dengan pilihan hidupnya sendiri?"
Tangis itu menjadi-jadi. Tubuh Inge ikut terguncang saat meredam tangis Fawaizzah dalam dekapannya. “Shhh… Eling, Zah!”