Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sumpah Pocong

13 Januari 2012   04:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:57 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.zonaunik.com/2011/02/10-hantu-terpopuler-di-indonesia.html

SUMPAH POCONG

Oleh: Ramdhani Nur
[caption id="" align="aligncenter" width="307" caption="Sumber: http://www.zonaunik.com/2011/02/10-hantu-terpopuler-di-indonesia.html"][/caption]

Kehebohan ini memang sudah terjadi sejak sore tadi, dan kian menjadi pada malam harinya. Hampir semua warga berkerumun di depan teras rumah Kiai Satori. Saya salah satu di antaranya. Menyeruak ke barisan depan, melewati beberapa anak yang memang kerap diperingati petugas satpam untuk menjauh.
Dari sini bisa saya lihat dengan jelas situasinya. Selain Kiai Satori yang banyak mendehem saat menyiapkan kain kafan, terlihat juga beberapa aparat desa duduk bersila bersender pada dinding rumah. Di sebelahnya terduduk kedua orang tua Maryani. Begitu lemas dan pucat. Ibu Maryani bahkan tak henti-hentinya menangis. Kerudung yang kerap dipakai untuk menghapus air matanya pasti sudah sedemikian basah.“Silakan, Nak Aris!” pinta Kiai usai menghamparkan kain kafan di hadapannya.
Huuu …! Sorak pengunjung makin riuh saat tubuh pemuda itu maju dan mulai membaringkan tubuhnya di atas kain kafan.
“Mohon tenang, hadirin! Prosesi ini butuh ketenangan. Jangan sampai nanti Bapak-bapak dan Ibu-ibu malah mengganggu jalannya prosesi ini!
Peringatan Kiai ini cukup manjur juga. Suasana tiba-tiba senyap, hanya menyisakan deheman yang terlanjur terlontar. Saya sendiri tak bereaksi apa-apa. Hanya sekadar merasakan degup jantung yang makin bergema. Mungkin saya merasa memiliki keterkaitan dengan peristiwa ini. Saya kenal betul lelaki itu, terlebih Maryani.
“Sudah siap, Nak?”
“Insya Allah, Kiai.”
“Kau sudah ambil wudhu tadi?”
“Sudah ….”
“Baiklah mari kita mulai.”
Tangan-tangan tua Kiai Satori kemudian sigap membungkus tubuh Aris. Semua tertutup, kecuali wajahnya yang dibiarkan menyembul keluar. Tampak pucat sekali, sudah mirip dengan mayat saja. Kecuali rasa dingin yang tiba-tiba menjalar di kepalan tanganku, dadaku makin kencang terguncang. Dag dig dug. Serupa pukulan pada rebana.
“Para hadirin, mari kita sama-sama ikuti prosesi ini. Kalianlah yang akan menjadi saksi atas sumpah yang akan diucapkan oleh ananda Aris ini. Kalian pulalah nanti yang menjadi saksi atas apa-apa yang mungkin menimpanya jika ternyata janjinya hanyalah sebuah dusta.”
Seperti juga saya para penyaksi yang lain ikut terdiam. Segera dimulailah saat-saat yang paling mencekam ini.
“Silakan, Nak Aris! Ucapkanlah sumpahmu atas nama Allah!”
Saya tahu tubuh Aris bergetar hebat, begitu juga dengan bibirnya. Tapi percayalah, saya merasakan getaran lebih besar di tubuh saya.
“Dddemi Allah ….! Sssaya … Aris Kurniawan bin Basuki tidak sekalipun membunuh saudari Maryani binti Abdurahman. Jika ternyata benar saya berdusta, saya ikhlas menerima akibatnya, menjadi mayat dalam tujuh hari.”
Sumpah telah selesai diucapkan. Para penyaksi kembali gaduh. Saya lunglai sejadinya. Setelah ini warga pasti percaya bahwa Aris bukanlah pembunuh Maryani. Tak ada orang yang begitu berani berdusta dengan sumpah pocong ini. Mereka pasti akan menyeret tersangka lain untuk turut bersumpah pula. Mungkin saya yang berikutnya. Sialan! Saya mesti bergegas pergi.

*****

Cirebon, 13 Januari 2012
Sumber gambar dari sini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun