Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sekuntum Kembang

6 September 2011   07:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:12 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar :http://andrehanworld.blogspot.com/2010/08/sebuah-arti-dalam-warna-bunga-mawar.html

SEKUNTUM KEMBANG

Oleh: Ramdhani Nur


[caption id="" align="aligncenter" width="317" caption="sumber gambar :http://andrehanworld.blogspot.com/2010/08/sebuah-arti-dalam-warna-bunga-mawar.html"][/caption]

Kita ini sekuntum kembang

Hanya jadi penghias jambangan

Hanya jadi teman jam jaman

Diputar siang malam*

Sudah kukira, pekat malam keseratus dua puluh dua sejak delman menjauh dari gapura desa itu ternyata hanya bersinggah pada panggung-panggung drama saja. Di sinilah nasib menari. Mementaskan lakon bagi jiwa-jiwa yang pasrah. Di sini pula segala rasa bertumpah. Kita bisa mengaduh sekaligus mendesah. Tertawa sekaligus terbata. Lihatlah, sampai seratus dua puluh dua malam ini aku masih bisa merasakannya dengan kenikmatan yang tak berkurang. Ah, Rosmini, mestinya kau harus menjadi sepertiku. Menjadi sekuntum kembang yang menari-nari mengaitkan malam-malam yang selalu kau kutuk.

Tentu saja aku ingat pada Bang Yatno, yang kau adukan padaku perlakuannya tiap malam. Aku ingat dialah yang menyejajarkan kita pada dinding bersendernya perempuan-perempuan dari kampung lain. Itu malam kedua. Empat kali dia mencolek perutmu. Waktu itu kau memang sintal, Rosmini. Meskipun kita sama penakutnya saat sadar takdir hanyalah sebuah nasib yang menipu. Pelinting rokok, begitu awal kita dijanjikan. Hahaha! Kita begitu naïf mengarti rokok yang dia maksud. Ah, kau tentu tak bisa tertawa sepertiku ya? Tapi menurutku, tak baik pula kau terus-menerus mengurung.

Lihatlah sisi baiknya Ros! Kita ini hanya sekuntum kembang. Harumnya tak lama. Hargailah! Berbanding denganku, kau adalah mawar dalam jambangan. Dirawat, dipandang, dan diciumi. Bolehlah kau sebut Bang Yatno itu bajingan, tapi kau tak sengsara, Ros. Dia masih menyimpan jambangannya baik-baik dalam rumah. Sementara, entahlah aku kembang apa. Tak ada vas yang pantas untukku. Selalu terlempar dari sebarang kamar ke lain kamar. Dari drama ke lain drama. Aku selalu menari, Ros. Malamku selalu mengiring dalam beragam gending. Sampai aku berpikir langit-langit gulita itu pun punya ritme yang sama pekatnya dengan nasibku.

Asal kau tahu, aku sudah berhenti menangis sejak malam ketiga puluh dua, Ros. Jadi aku sulit memahami tangismu tiap malam itu. Aku juga sudah lupa tangis bapak dan ibu di desa. Masihkah menitik air mata? Masihkan bersambut dengan lirih doa? Bukan aku tak percaya, Rosmini. Tapi jika benar air mata mereka itu selalu berujung doa, tak perlulah butuh ratusan hari untuk membebaskan kita dari jebakan nasib ini. Tapi aku tak menggugat, Ros. Kita ini hanya sekuntum kembang. Suatu saat layu dan kusam. Suatu saat ditendang dan dibuang. Aku hanya memastikan aku tetap menjadi kembang saat terbuang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun