Meski kerap tersenyum saya sesungguhnya tak bisa banyak berbasa-basi. Pertanyaan-pertanyaan tentang kabar, pekerjaan, dan keluarga seperti sajian utama yang harus segera disantap. Tak mungkin saya membalasnya hanya dengan cengengesan belaka. Karena basa-basi pun harus terbalas.
Oh ya, alhamdulillah saya baik-baik saja. Saya masih bekerja di tempat lama. Keluarga juga baik.
Ah bahkan pun jika jawaban itu sudah terungkap tetap saja terasa masih kurang pas di telinga si penanya. Situasinya kemudian akan meningkat menjadi semacam interogasi.
"Tempat lama yang mana? Pabrik kaca? Masih betah di situ? Istrinya kemana? Nggak dibawa mudik?"
Kalau sudah begini diplomasi cengengesan pun terpaksa saya naikan setatusnya menjadi diplomasi tawa yang dibuat-buat.
"Iya hahaha! Istri saya nggak saya bawa karena memang belum punya hahaha!"
Maka terjadilah timbal balik yang tidak sepadan. Ketika saya mengajak tertawa mereka malah melotot keheranan. Bagi saya ini sudah masuk pada wilayah pelecehan.
"Belum nikah juga? Kamu kan sepantaran dengan anak-anaknya mang(1 Maman? Mereka sudah pada nikah semua. Mas Deni malah sudah tiga anaknya. Ayo, nikahlah! Mau nunggu apalagi. Inget umur!"
Inilah saat-saat dimana tawa saya jadi kecut. Lidah jadi mengkerut. Dada jadi sesak akut. Silaturahmi ini sudah disulap jadi penghakiman terhadap status. Pemojokan terhadap takdir. Penistaan terhadap suratan. Seolah saya yang memegang buku takdir. Hinga saya harus tahu kapan dan dengan siapa saya menikah. Ah ya, dumelen saya itu tentu tak pernah terlontar. Cuma mungkin terlihat dari senyum saya yang tinggal setengah.
Basa-basi yang bermetaphosis ini kemudian memuncak di renyahnya kue-kue kering dan sirup tjampolay(2 yang terseruput dingin. Sunggguh saya membenci lebaran yang seperti ini.
Cirebon, 8 September 2010