Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Perpisahan

15 Januari 2011   02:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:34 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anak itu berdiri terpaku. Pandangannya membuntut pada punggung ayahnya yang kian menjauh. Pertemuan dengan sang ayah harus berakhir saat senja menua dan senyap menjadi gempita. Batang-batang akasia bergesek dimainkan angin. Menciptakan hujan daun-daun kering di atas kepalanya. Sang ibu merengkuhnya. Cintanya pada lelaki kecil itu masih seluas udara yang tak kan habis terhirup. Dan setara itu pulalah sesungguhnya cinta sang ayah pada anaknya, juga padanya. Sebuah hal yang selalu disangsikan sang bocah tiap kali mendapati tapak-tapak kaki ayahnya makin kecil dan jauh. "Ayolah, nak! Jangan sedih lagi! Seharian ini kan Ayah telah banyak menemani kita." "Kenapa Ayah tak tinggal saja dengan kita di sini? Kenapa terus pergi-pergi lagi?" Karena perpisahan, sayang! Karena perpisahan! Sang ibu tak menyadari yang ingin disadari anaknya. Ada hal harus dijelaskan. Dan itu tak kan pernah menjadi penjelasan yang mudah. Semua tetap melahirkan pertanyaan. Jawaban-jawabannya selalu terkunci pada kata takdir! Ya, itulah jawaban yang paling tak berbantah dan yang paling tak dimengerti anak seusianya. "Apakah ayah akan bersama-sama kita lagi?" "Tentu!" "Kapan?" Sang ibu tetap tenang. Telah lama dia belajar bertahan dari bertumpahnya air mata. Sebuah lambang kepasrahan bagi dirinya dan terutama untuk anaknya. Karena tak dipungkiri, hatinya sangat merindu lelaki yang pernah begitu mencintai dirinya. Mungkin juga hingga saat ini. Tapi dia tak ingin egois! Lelaki itu lebih berhak hidup bahagia dan berguna selepas perpisahan itu. Tak perlulah terus mengingat lambaian tangan-tangan saat terakhir kali senyum mereka bertukar di sebuah stasiun kereta. Bukan salahnya dan bukan pula salah lelaki itu jika setelahnya mereka tak lagi bisa bersama. "Kapan, Bu?" "Entahlah, nak! Ibu tak tahu." Jika demikian jawaban ibunya, anak itu tak lagi berani banyak bertanya. Membisu lebih menenangkan pikirannya. Gelap meraja. Sepi sama pikuknya dengan kicau serangga dan burung-burung malam yang meliar di antara pucuk-pucuk akasia. Angin mulai bermain-main bersama dingin. Malam yang sempurna untuk sebuah keterasingan. "Tidurlah! Mungkin ayahmu akan mengunjungi kita lagi." Anak itu rebah. Kepalanya membujur pada pasak-pasak kayu yang bertuliskan namanya dan nama ibunya. Sebagai penanda bahwa di sanalah pertemuan dengan sang ayah akan kembali terulang esok hari. **** Cirebon, 14 Januari 2011 Minggu tentang kematian... Gambar dari www.dphotography.wordpress.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun