Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

(MPK) Kasih Tak Sampai: Dari Siti Nurbaya (Sebuah Prosa Rekonstruksi)

11 Juni 2011   05:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:38 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Peserta MPK no. 15

[caption id="attachment_115827" align="alignnone" width="326" caption="Ilustrasi dari halaman gambar Novel Siti Nurbaya"][/caption]

Aku tahu, sudahlah kulakukan permulaan yang salah. Sejak awal mula. Bahwa rencana-rencana buruk dulu tak lain adalah kesalahan semata. Tapak-tapak bencana itu kini terlihat membalik di hidupku. Buah dari segala langkah yang kutanam dengan keserakahan. Dia menyebutnya sebagai sebuah kekejaman. Aku mengakuinya.

Pada sebuah pertengkaran, sering kali telunjuknya itu mengarah padaku. Menggugat semua petaka yang pernah kuciptakan pada keluarganya. Dan terutama pada dirinya. Sungguh, dia tak takut mengatakan itu keras-keras. Serupa puluhan jerigen bensin yang sama panasnya saat tersulut membakar gedung perusahaan keluarganya beberapa tahun sebelumnya. Serupa itulah sikapnya membakar hatiku. Selalu saja aku tak pernah berani melawannya bahkan untuk sebuah alasan bahwa aku sungguh mencitainya! Jika pun itu sudah kukatakan, dia hanya terdiam lama untuk akhirnya melepaskan kata-kata bahwa dia tidak mencintaiku sama sekali. Perih, sangat menghujam. Tapi memang begitu semua biasanya berakhir. Kemudian aku berganti terdiam, membiarkan dia beringsut ke kamar. Membebaskan rasanya sendiri-sendiri. Kadang kami sama-sama menangis untuk alasan-alasan yang berbeda.

Aku tetap berganggapan bahwa semua tampakan derita itu adalah pengorbanan cinta. Aku memercayainya. Cinta terbesar adalah ketulusan tanpa pengharapan. Terus memberikannya meski tak pernah datang berbalik. Inilah cinta sesungguhnya. Inilah rasa yang sekali saja menyusup jiwa. Anugrah yang sangat terlambat bersemayam selama lebih dari lima puluh tahun. Tak pernah terasa sebelumnya.

Atau sebutlah ini sebagai hukuman. Pembebasan atas dosa-dosa yang pernah tercipta dari tanganku. Sesakit derita itu menghujam pada hidup dan keluarganya, sehebat itu pula luka yang terbentuk pada hati dan cintaku. Meski kuakui aku masih sulit memahami sebuah makna ketulusan dari penghukuman ini.

Lalu senja turun.

Pada setiap senja dia selalu kembali. Aku tak pernah mengerti apa yang dia lakukan pada saat-saat di luar senja atau pada saat makan malam yang tak tersentuh ini terhidang.

“Kau yang mengirim Pendekar Lima untuk mengamatiku di rumah Ayah?” Begitu. Selalu dia yang memulai membuka tanya. Tentu karena ada hal yang begitu mengganggunya.

“Ya. Aku mengirimnya untuk menjagamu.”

“Mungkin kau harus lebih mengerti perbedaan antara menjaga dan mengawasi. Dia sangat tidak berpengalaman.  Tindak tanduknya sangat mencolok sekali.”

“Siang tadi dia mengirimiku email berisi foto-fotomu bersama Samsul.  Itulah yang dilakukannya jika  kau ingin menyeebut itu sebagai pengawasan.”

Dia tersenyum. Matanya terpejam kuat seperti menelan lumat-lumat emosinya sendiri. “Aku sungguh tak mengerti. Kenapa kau masih butuh Pendekar Lima dan foto-foto yang dibuatnya untuk menunjukkan bahwa aku masih mencintai Samsul, bahwa aku masih memiliki harapan untuk hidup bersamanya suatu saat nanti. Bahwa aku mati-matian berharap bisa pergi dari hidupmu. Bahwa kau juga mengerti jika aku sama sekali tidak mencintaimu. Tidak bisa dan tidak akan pernah. Dari semua itu alasan mana lagi yang harus ku perjelas?”

Begitulah akhirnya ujung lidahku terkunci. Tapi dadaku tidak. Nafasku terus memburu tiap kata yang terlahir dari mulutnya. Hal yang tak bisa kubalas dari mulutku sendiri. Entahlah belakangan ini dia makin mahir saja menjadi penyihir. Membuat emosiku naik dan teredam lagi. Ada semacam kutukan cinta yang simpan di dadaku. Dia mainkan. Dia kendalikan dengan sempurna. Aku hanya menjadi pemain yang kalah di dalamnya.

“Sampai kapan kau akan seperti ini, Aya?”

“Hanya kau yang tahu, Tuan Maringgih! Hanya kau yang bisa menentukan kapan aku bisa lepas dari hidupmu. Begitukebebasanku kembali, maka kehidupanku bermula. Segalanya kemudian berakhir. Penderitaanku penderitanmu. Kita sama-sama menunggu itu bukan?”

“Sungguh aku akan jauh lebih menderita saat tanpamu. Aku akan tetap merasa bahagia jika kau di sini meski dengan ketiadaan cintamu.”

“Kau tahu itu bukan cinta. Kau tahu cinta tak membuat salah satunya menderita.”

Lalu sunyi menjadi-jadi.

Ada kesepahaman yang  sama-sama tidak ingin  kami akui. Hening ini bercerita lebih jujur tentang rasa kami masing-masing. Dan penolakan selalu lebih bingar terlontar jika kedua rasa itu bertemu. Bukan sekali ini kami terjebak dalam  situasi begini. Kadang aku terlalu bosan mendapati bahwa aku yang harus menerima kenyataan cinta yang dia ciptakan. Kenapa cintaku selalu tak berdaya di atas cintanya pada yang lain.

“Makanlah! Sudah beberapa hari ini kau tak pernah menyentuh makanan di sini. Lihatlah! Kau begitu kurus.”

“Maaf, tapi aku tak pernah menemukan seleraku di sini.”

“Jika kau menganggap perhatianku terhadap kesehatanmu sebagai bagian dari rasa sayang dan cintaku, kau boleh abaikan itu. Tapi sesungguhnya itu adalah caraku menepati janji pada Ayahmu untuk menjagamu dengan baik.”

Dia menatapku. Sebuah tatapan yang berbeda. Bukan kebencian dan kekesalan yang lengket bergumul seperti sebelumnya. Mungkin ada hal yang benar dari ucapanku. Lalu diraihnya beberapa butir anggur dan segelas air putih. Aku menatap tiap butir anggur yang melesak melalui kedua bibirnya. Sungguh menyentuh sekali. Ini sebuah situasi yang sangat kurindukan. Bersantap dalam satu meja bersama.Aku begitu mencintai dirinya saat seperti ini.

Pada butir anggur yang keempat, tubuhnya tiba-tiba lunglai jatuh. “Kau!” itu yang kutangkap dari desisnya yang terakhir. Lalu kepalanya terkulai lemas di atas meja. Aku sungguh tahu apa yang membuatnya seperti itu. Aku sungguh-sungguh tahu bahwa  hal semacam ini pasti akan terjadi.

“Aku mencintaimu, Aya! Aku terlalu mencintaimu untuk menerima bahwa kau memiliki cinta yang lain.” Aku menciumnya lembut. Tenang.

*******

Cirebon - Cianjur, 11 Juni 2011

kolaboari terlambat antara Herlya Annisa dan Ramdhani Nur

Gambar: http://smpmuh4.ictjogja.net/kgi/smp/smp/bindonesia/klas_9/Bahasa_Indonesia_IX/image/novel1.jpg

Catatan: Prosa Rekonstruksi adalah sebuah upaya menggambarkan ulang imaji penulis pada sebuah karya yang telah baku. Ini hanya sebuah percobaan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun