Dimas menggenggam erat tanganku. Aku merasakan getaran cinta menghangat di jemarinya. Bukan itu saja senyum dan matanya berbinar lebih tulus dari sebelumnya. Memang akan selalu berakhir begitu. Saat emosinya meredam dan jiwanya teryakinkan. Sudah berulang aku jelaskan. Mencintaiku butuh sesuatu yang lebih dari sekedar pengharapan. Aku berbeda dari wanita yang pernah dia cinta beberapa tahun lalu. Bersamaku segalanya tak akan mudah. Setelah aku bilang tak ada yang berubah, bahwa aku juga mencintainya dia kemudian melembut manis. "Bisakah kita bertemu lagi besok?" pintanya sungguh-sungguh. "Kita lihat saja nanti, semoga bisa. Tapi jangan membawa prasangka, aku malas menjelaskan semua hal ini lagi padamu." Dimas tersenyum, "aku jamin tidak. Selama aku tahu kau juga mencintaiku." Giliran aku yang tersenyum. Ruangan ini makin romantis saja oleh bisikan James Blunt yang mengisi gelas-gelas anggur kami dengan You're Beautiful-nya. Ah, bibir kami hampir berpagut saat deringan hand phone menggugah kemesraanku. Aku meraih hand phone itu dan meminta ijin pada Dimas untuk menjauh sesaat. "Ada apa? Nggak usah jemput! Mama masih ada meeting di kantor. Papa kelonin Rio aja, ya!" Begitu saja. Aku lantas kembali pada Dimas yang tersenyum melihatku tersenyum. Cirebon, 19 September 2010 (foto : koleksi MrHenryVanity photobucket)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H