Oleh: Ramdhani Nur
[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="sumber:http://salmiahehehe.blogspot.com/2010/07/"][/caption]
Keparat! Masih juga di sana dia. Gigih betul.
Langkahku batal dilanjutkan mendekati tikungan terakhir menuju tempat kosku. Keparat itu sudah berdiri tepat di depan pintu kamar. Seperti kurang sangar, dia malah menambahkan dua teman bajingannya untuk memperdayaku. Sialan betul. Kurang percaya apa lagi? Jangankan lima juta, duit seratus ribu pun susahnya mati-matian aku dapatkan. Mereka pikir orang sepertiku bisa dengan mudahnya menghasilkan uang setelah lima belas hari disiksa di tahanan Polsek. Seluruh polisi itu tahu betul semua tindakanku selepas dari kerangkeng. Mereka sepertinya punya banyak hidung untuk mengendusku di mana saja. Sekali kedapatan mengacau lagi, jeruji builah yang bakal mengurungku kemudian. Para keparat itu semuanya penjahat. Seharusnya mereka paham juga situasi ini, bukannya menagih seenaknya.
“Bang, dicariin ma tu orang!”
Aku hampir menabraknya, ketika kuputuskan untuk berbalik badan dan segera menghindar. Ada yang mesti kuamanatkan jelas-jelas pada tetangga kurusku ini. “Denger, ya! Kalau sampe gua kedapatan bonyok dipukulin tu orang-orang, keluarga lo bakal nangisin mayat lo! Karena infonya pasti dari lo, kagak ada orang lain yang mesti gua tuduh!”
Si kurus itu terdiam. Matanya hanya sanggup menatap sorotku tak sampai sedetik. Kecuali dalam situasi ini, aku pasti iba juga melihatnya mengkerut ketakutan seperti itu. Peduli setan. Aku kembali bergegas. Jika tak segera kabur dari tempat ini, setan-setan itu akan segera mencabikku.
“Mau dibawa kemana pakaian saya, Bang?”
Entah ide dari mana--tapi pasti ada manfaatnya, kemeja dan celana jin yang tengah dijemur di pinggir gang si kurus itu aku sikat sekenanya. Membuat beberapa pakaian lain berjatuhan ke got.
“Pinjem!”