Umur saya sudah lewat tiga puluh tahun. Sudah pantas memiliki istri dan anak. Sudah pantas juga berfantasi seksual atau menikmati visualisasinya lewat gambar-gambar dari majalah semi porno yang biasa saya beli di pinggir jalan. Tapi anehnya ibu saya yang usianya lebih dari enam puluh tahun itu marah-marah ketika menemukan gambar-gambar itu di meja kamar saya. Saya tidak tahu benar apa reaksi ibu sesungguhnya; marah sebenarnya, kecewa, prihatin, khawatir atau lainnya. Saya tidak cukup bisa menilai sikap ibu dari wajahnya yang tertunduk lesu sambil membungkusi gambar-gambar cabul itu. Hampir sekitar satu dus indomi penuh dibawa ibu semunya entah kemana.
Sejak kejadian itu sikap ibu terhadap saya berubah. Sepertinya saya ini masih dianggapnya remaja usia dua belas tahunan, yang masih rentan terhadap pencarian hal-hal baru, seperti seks misalnya. Tapi usia saya sudah lewat tiga puluh tahun. Ibu mestinya mengerti itu. Dan saya seharusnya bisa melakukan pembelaan terhadap segala yang saya lakukan atas dasar kedewasaan dan tanggung jawab saya. Tapi tidak. Saya hanya bisa terdiam.
* * * * *
“Halo, Om Mus! Ngalamun aja?”
“Eh, Mia kok disini? Sama siapa ke sini?”
“Sendiri! Tadi gurunya rapat jadi Mia kemari.”
Mia itu keponakan saya. Umurnya belum tujuh tahun. Baru empat bulan masuk sekolah. Ibunya adalah kakak saya. Mereka tinggal di kompleks sebelah. Sesekali mereka memang suka singgah kemari. Tapi Mia tidak pernah datang sendiri.
Bahkan untuk sekedar mampir seusai sekolah, meski jarak dari sekolahnya lebih dekat kemari ketimbang rumahnya. Entahlah, mungkin mereka khawatir terjadi apa-apa di jalan.
“Kalo Mama nyariin gimana?”
“Mia udah bilang kok sama Bu guru, kalo Mia mau ke rumah nenek!” katanya centil.