Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi dari Sang Istri

13 Oktober 2011   04:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:01 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KOPI DARI SANG ISTRI

Oleh: Ramdhani Nur


[caption id="" align="aligncenter" width="320" caption="Sumber gambar: http://caritauaja.info/"][/caption]

Tidak bisakah kita melakukan kompromi, Munah? Seperti yang selalu kau ajarkan pada anak-anak. Kenapa tidak mencobanya kali ini pada saya.

Pagi ini kopi bikinan Munah tidak enak. Rasanya terlalu pahit. Kopi pahit tidak pernah cocok di lidah saya. Apalagi yang terlalu. Munah mestinya tahu itu. Selama dua puluh dua tahun kopi bikinan Munah tidak pernah salah. Selalu panas dan sedikit manis. Agak kental tapi tersaring baik. Tersaji dalam gelas belimbing hampir penuh segelas. Dialasi tatakan dari kaleng lengkap dengan penutupnya. Selalu tersaji tepat pukul 6.30 pagi di atas meja ruang tamu. Pagi ini pun begitu, cuma rasanya saja yang tidak enak.

“Kopimu ada di atas meja.”

Ya, kopi tidak enak ini memang sudah ada di atas meja. Saya sedang memandanginya dan mulai berpikir kenapa kopi ini menjadi pahit. Mudah bagi saya untuk menyalahkan Munah yang lupa menambahkan gula di gelas kopi saya. Cuma sepertinya kok aneh saja, sebab selama dua puluh dua tahun baru kali ini Munah lupa menambahkan gula. Mungkin Munah mulai tua, mulai lupa pada banyak hal. Padahal umurnya hanya terpaut tiga tahun lebih muda dari saya. Kasihan! Apa penyakit pikunnya sudah menyerangnya lebih awal? Saya kurang yakin. Masih perlu pembuktian lebih lanjut. Saya baru bisa memercayai itu jika besok Munah lupa menambahkan kopi di kopi saya.

“Kopinya tidak diminum?”

Sudah. Dan rasanya tidak enak. Tepatnya terlalu kental. Saya tidak perlu menggunakan teori kimia untuk menentukan kekentalan larutan kopi ini. Cahaya mahatari yang datang dari jendela rumah yang menubruk gelas kopi saya sama sekali tidak tembus. Ini tandanya kopi ini terlalu kental. Ini mungkin dua takaran kopi yang diracik dalam satiu gelas. Munah, Munah! Kau hendak bicara apa dengan kopi yang terlalu kental begini? Sungguh saya tidak bisa mengerti bahasa kopi yang terlalu kental, bahasa masakan yang terlalu asin, bahasa baju yang masih kusut, atau juga bahasa rumah yang dibiarkan berantakan. Saya hanya bisa mengerti bahasa yang keluar dari bibirmu. Itu pun kalau saya perlu untuk mengerti.

Mungkin Munah mau bilang; “Pak, harga kopi sekarang lagi murah, sementara uang yang Bapak beri sudah saya belikan kopi semua. Jadi dari pada mubajir takaran kopinya saya tambahkan.” Ah, tapi Munah tidak segoblok itu. Atau mungkin Munah mau menunjukkan kentalnya rasa cinta dia terhadap saya sampai-sampai dia simbolkan itu lewat segelas kopi yang terlalu kental cinta yang kental adalah cinta yang terseruput dengan nikmat di pagi hari. Oh, simbolisasi macam apa itu? Kopi terlalu kental yang kopi terlalu kental. Titik.

Kadingaren kopinya masih penuh.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun