Hari ini saya resmi menjadi mayat. Terbaring berjejer bersama tubuh-tubuh beku lainnya. Kaku tak berdaya. Tepat di samping saya dua mayat terbujur. Seorang lelaki dan perempuan. Kami mati dengan cara yang sama. Sebuah lubang peluru menembus otak kami masing-masing. Tak ada keajaiban yang bisa menghindarkan kematian dengan cara ini. Semua terjadi di sebuah pesta pernikahan malam tadi. Kekacauan di tengah pesta membuat kami tak bisa berkompromi dengan maut. Entahlah dengan mayat lelaki dan perempuan itu, tapi pada saat setelah menjadi mayat begini saya sama sekali tak memedulikan lagi kenapa dan bagaimana kami mati. Sesungguhnya saya ingin segera dikafani dan dikuburkan. Tapi saya seperti juga dua mayat ini masih terkendala hal-hal lain seperti; otopsi, laporan forensik, penyelidikan polisi, klaim keluarga dan lainnya. Kematian kami memang tidak wajar, ada semacam intrik yang membarengi. Butuh analisa dan penyelidikan lebih. Beberapa menit yang lalu kami baru saja selesai diotopsi. Hasil resminya belum keluar. Tapi dua orang polisi yang dibarengi petugas rumah sakit ini seperti sudah punya kesimpulan sendiri. Entah apa maunya jika rahasia kematian kami terungkap. Itu semua hanya untuk menjawab penasaran orang-orang yang hidup. Bukan untuk mayat seperti saya. Biarkanlah saya tenang melanjutkan proses kematian selanjutnya. Tak perlu diusik lagi seperti ini. "Ini korban-korbannya?" "Ya, Pak!" "Bagaimana kronologisnya?" "Saya kira kecemburuan jadi motif pembunuhan ini. Seorang lelaki tiba-tiba naik ke atas panggung dan mulai menembak pasangan yang baru menikah ini. Setelah itu dia menembak dirinya sendiri." "Ini pelakunya?" katanya sambil menunjuk saya. "Iya, Pak!" Cirebon, 24 September 2010 (Foto diambil dari koleksi Shinobu_bucket Photobucket)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H