Oleh: Ramdhani Nur
[caption id="" align="aligncenter" width="180" caption="Sumber: wedding invitation"][/caption]
Untuk Irsyam Syam dan Reni Purnama
Hujan. Barangkali memang sengaja dijatuhkan di atas kepalanya. Membuat ubun-ubunnya membeku dan turun menyergap jemari. Ini rahasia Tuhan, Sang Penitah Cuaca. Jadi jangan Kau kira bulir-bulir air yang terhujam tepat di pagi hari ini adalah perjudian serupa dadu. Tidak sama sekali. Tuhan tak pernah berjudi pada batin-batin yang ikhlas. Dia sudah rapalkan kejadian ini sebelum napas-napas itu pernah dihembuskan. Dipastikannya kepalan tangan siapa yang mampu menghangatkan gigilnya jemari itu.
Tentu kita tak merasa. Mereka pun tidak. Tuhan pasti sembunyi-sembunyi menaruh banyaknya bilah-bilah tanya pada sebuah pertemuan hari yang dipersingkat. Inikah dia? Benarkah dia? Lalu Tuhan terbangun di tiap-tiap malam. Karena tanya itu kerap mereka kembalikan tanpa permintaan.
“Kami mencintai pengharapan, karena dari situ mulalah terlahir keyakinan.”
Kau mungkin sepakat denganku. Mana bisa Tuhan terharu! Meski sanjung dan puja dihamparkan terik menuju gelap, diilirihkan desah hingga menjelma pasrah. Tuhan hanya akan menilai cinta. Jika jiwa-jiwa ini tak berkaitan mengeratkan temali--hingga cinta demikian kuat dipertaruhkan pada-Nya--mungkin Tuhan akan berpikir dua kali. Cinta serupa apa yang kau punya hingga mampu kau giringkan sampai ujung usia?
Tapi si pemilik kepalan tangan ini sudah bersaksi. Hidupnya telah dilengkapkan. Utuh. Mengisi lahir dan ruhnya. Menyeluruh.
“Jika hidup ini adalah sebuah puzzle, maka dia adalah kepingan puzzle terpenting dalam hidupku.”*
Ah, Kau akan menyangkal apa lagi jika sudah begini? Baiknya kita segeralah bertepuk tangan, biar Tuhan cepat diyakinkan.
****