Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tak Ada Cinta di Paris #4 (50k)

7 Januari 2011   07:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:52 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbeda dengan semalam, aku sama sekali tak bisa menikmati makanan ini. Terganggu dengn perhatianku padanya. Meski tak lagi banyak yang dia lakukan sekarang. Hanya sesekali memeriksa hand phonenya, memijit tombolnya sana sini. Rautnya tak banyak berubah. Murung dan sendu. Segelas minuman serupa jus, dia biarkan begitu saja di atas meja.

Sejauh ini fokusku masih padanya, membuat erat demi kerat daging tersuap tanpa kusadar. Sayang, aku tak lagi berani mengambil gambarnya. Seorang pria gendut berkumis tebal terduduk di sebelah mejaku sejak beberapa menit lalu. Tak memperhatikan memang, tapi tentu saja akan terlihat mencolok jika aku terus mengoprek kameraku. Padahal itu yang harus kuhindari. Tapi terlambat! Ternyata bukan gerak-gerikku yang memicu perhatian orang, melainkan wajah dan perawakan asiaku. Aku lupa menyadarinya. Si pria itu mendekatkan pandangannya padaku, membuat perhatianku pada si gadis buyar.

"Bonjour!" sapanya.

"Bonjour!" Aku membalas sebisanya.

"Vous etes étranger? Oui?" Bagus! Aku harus menjawab apa? "D'asie? Viétname?"

Ah, aku bisa menerka pertanyaannya, "Indonesia. But sorry, I don't speak French!"

Pria itu melenguh, entah apa yang diucapkannya kemudian. Seperti mencoba berkata-kata dalam bahasa Inggris bercampur Prancis. Namun tak bisa kutangkap dengan jelas ucapannya dengan aksen Perancis yang sangat kental. Aku hanya menjawab seadanya. Bahkan gerak bahuku yang lebih banyak berkomunikasi dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Dari perawakannya aku sendiri tak yakin jika dia asli orang perancis. Berbeda dengan Gustave, kulitnya lebih gelap. Mungkin imigran. Ya, aku ingat cerita Aryani, 30 persen warga Paris adalah imigran. Entah dari Afrika utara atau Vietnam. Sebagian besar tinggal di pinggiran kota. Mereka jadi penopang aktivitas ekonomi di Paris. Beberapa generasi bahkan telah lama tinggal di sana. Pada keturunan terbaru apalagi jika terjadi pernikahan dengan warga lokal, wajah-wajah mereka hampir serupa dengan penduduk asli. Mungkin juga dengan gadis itu. Bisa jadi. Wajahnya yang tak terlalu pucat seperti gadis-gadis Paris yang kutemui sejauh ini ditambah ucapan salam orang Islam yang sempat kudengar tadi, aku bisa menerka dia bukan orang perancis asli. Tunisia, Maroko, ataupun Aljazair siapa tahu!

"Karim!" tersentak aku dari lamunan. Gadis itu memanggil seseorang di dalam. "N'oublies pas de m'appeler s'il te contacte."

"Biensûr!"

"Il fau que je parte," gadis itu beranjak dari kursi. Dikeluarkannya selembar uang, entah berapa. "Merci, Karim. Au revoir!"

"Au revoir, Nasrine!"

Nasrine? Namanyakah? Sangat berbau timur-tengah. Ini makin memperkuat dugaanku. Gadis itu memang keturunan.

Melihat dia sudah beberapa meter beranjak dari tempat duduknya tadi, aku jadi tergesa-gesa menghabiskan sisa makananku. Aku ingin mengetahui kemana dia pergi. Penasaranku padanya belum tuntas. Kuselesaikan saja acara makan siangku saat itu. Kamera aku simpan kembali ke dalam tas. Aku mulai mengikuti arah jejaknya yang tertinggal di trotoir.

*****

Cuplikan dari Chapter IV (yang belum tuntas :D )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun