Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Rantang Bersusun Tiga

1 November 2010   14:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:55 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignright" width="266" caption="*foto diambil dari www.koleksibarangdjadoel.blogspot.com"][/caption] Aku membuka rantang bersusun tiga satu persatu. Dua butir sambal goreng telur dengan kuah merah tersaji di rantang pertama. Beberapa buah tempe ukuran besar dan ikan asin sepat yang sama digoreng kering bertumpuk di rantang kedua. Terakhir, nasi putih hangat memenuhi rantang terbawah. Aku menatap Asih, tersenyum. Kudapati wajahnya sedikit mencerah. Dia hanya memperhatikan aku mencampurkan masakan dan lauk itu ke dalam rantang yang berisi nasi putih. Satu huapan besar masuk ke mulutku. "Kamu masak sendiri?" Asih mengangguk. "Enak, Sih! Kamu sudah pintar memasak rupanya." Sudah lama aku tidak menikmati makanan seperti ini. Sederhana namun dimasak dengan baik. Ah, aku memang rindu masakan rumah. "Ibumu gimana?" "Sehat" "Ayah?" Asih menunduk, diam. Memang kurasakan sikapnya berbeda ketika langkah pertamanya masuk kemari. Tidak seperti kunjungan sebelum-sebelumnya. Ceria dan semangat. Tak kuteruskan mencomot tempe yang tinggal sepotong. Kutatapi wajah Asih yang menjadi sayu. Ada pilu yang tak tersembunyikan. "Ada apa, Sih?" Asih tetap diam. Matanya terpejam-pejam. "Cerita sama Bapak!" aku meraih tangan kecilnya. Sebagai sebuah tombol yang membuat tangisnya pecah. Kubiarkan kepalanya jatuh di pundakku. "Asih ingin ikut sama Bapak," ucapnya tersendat di antara isaknya. Aku merengkuh badannya dan mulai membelai-belai rambutnya. Nafasku bergerak tak teratur. "Sabar ya, Sih! Bapak juga ingin kamu ikut sama Bapak. Tapi nanti. Sekarang belum bisa. Baik-baiklah dengan ibumu, ya! Dengan ayahmu juga." "Nggak! Asih nggak mau ikut ibu lagi! Ayah jahat sama Asih." Belum sempat kutanyakan apa maksud kata jahat yang diucapkannya itu, seorang petugas sipir menghampiri kami, mengingatkan bahwa waktu kunjungan sudah habis. Pertemuan yang tak paripurna ini terpaksa berakhir. Aku tak bisa berbuat apa-apa saat Asih dan rantang bersusun tiga yang tak sempat kuhabiskan isinya dibawa keluar ruangan bersama pengunjung lain. Sementara kami, para narapidana, dikembalikan ke dalam sel masing-masing. Cirebon, 1 November 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun