Mohon tunggu...
Ramdhani Nur
Ramdhani Nur Mohon Tunggu... karyawan swasta -

lebih sering termenung daripada menulis...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ibu Melarang Saya Menyimpan Tabloid Porno

4 September 2010   08:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:27 1436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimulai sejak ibu menemukan tabloid semi porno yang tergelatak di atas ranjang saya, sikap ibu drastis berubah. Tidak marah memang, tapi terlihat sekali kecemasan yang ibu tunjukkan setiap harinya. Saya jadi kikuk dan tak bebas. Apa yang saya lakukan sepertinya selalu terawasi ibu. Padahal saya sudah dewasa. Umur saya sudah lewat tiga puluh tahunan. Soal seks dan gambar mesum seharusnya tidak perlu mencemaskan ibu lagi. Saya sudah layak beristri dan mempunyai anak. Kecuali jika umur saya baru dua belas tahun. Tapi ibu sepertinya tidak paham.


Dan pasti karena ketidakpahaman itu pulalah, ibu akhirnya terlihat marah benar. Ketika sepulang dari pasar ibu menemukan saya dan Rya asik bermain kuda-kudaan di ruang tengah. Heran! Padahal Rya itu ponakan saya, dia baru masuk TK bulan kemaren. Dia mampir kemari karena telat dijemput ibunya pulang. Saya memang menyukai anak kecil karena saya sudah pantas memilikinya. Tapi ibu tidak sependapat. Lalu tanpa banyak bicara ibu lantas mengantarkan Rya pulang ke rumah yang jaraknya cuma dua gang dari sini.


Sejak itu saya lebih merasa tertekan dan terawasi. Hampir tiap saat saya melihat ibu di rumah. Belanja pun ibu selalu membeli pada pedagang sayur yang lewat kesiangan. Saya lebih banyak termenung. Menghabiskan hari dengan komik-komik yang sudah sekian kali saya baca.


"Ibu pikir kamu sudah berubah, Mus!" sapa ibu membuyarkan perhatian saya pada anak-anak perempuan yang sedang bermain tali di depan rumah. "Ibu kira ibu masih kuat mengurusmu setelah ditinggal bapak. Tapi kemampuan ibu terbatas sekarang."


Sungguh saya tidak bisa menebak maksud ibu.


"Satu hal yang perlu kamu tahu, ibu tetap sayang sama kamu, apapun keadaan kamu," ibu menatap saya hampir menangis. "Ibu cuma minta tolong satu hal. Tolonglah dirimu sendiri, lupakan masa lalu!"


* * *


Tangan saya ditarik bapak kuat-kuat. Ibu menjerit-jerit. Saya menangis keras. Tapi saya masih bisa menangkap tangisan yang menyayat dari seorang gadis kecil yang ibu bawa ke kamar sambil ibu benahi pakaiannya. Kemudian suara tangisan itu menghilang ditimpa suara bapak yang mulai memukuli saya. "Kamu apakan adik kamu, hah? Kamu apakan adik kamu?"


Itu kejadian waktu umur saya dua belas tahun. Tapi sekarang umur saya sudah lewat tiga puluh tahun.


Dan saya menangis...

Cirebon, 4 September 2010

Disarikan dari cerpen saya dua tahun lalu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun