"Aku hanya mengetahui nama-nama orang yang memang aku berkepentingan bertemu dengannya."
        "Lalu mengapa kau menemuiku jika tidak mempunyai kepentingan?  Pergi sana."
Baru kali ini malaikat maut diusir keberadaannya oleh manusia yang memang biasa saja. Tentu itu  adalah hinaan yang sangat untunnya.  Ingin sekali ia mengantam saja muka raka.  Namun kembali ia teringat akan tugasnya.  Ia tidak boleh berlaku sewenang-wenang,  ahirnya dengan ia meninggalkan Raka dengan membawa kebencian yang bertambah.
Seiring wadah yang melanda dan ketidakpatuhan masyarakat menerapkan protokol kesehatan, banyak orang gugur sebelum mencapai tua.
Raka menyadari setiap kedatangan lelaki besar dengan bulu lebat di dada, selalu diiringingi tangis penduduk desa.  Akhirnya ia menyimpulkan bahwa wadah yang sedang menyerang desanya adalah lelaki yang sering ia jumpai.  Maka disusunlah rencana membunuh sumber wadah tersebut.  Diasahnya golok, parang, dan kujang wasiat peninggalan mendiang sang buyut yang ia percayai sakti.  Bahkan ia siapkan juga senapan angin.  Seadainya melihat dari kejauhan ia akan lesatkan sekaligus.  Walau hidup tanpa tujuan namun melihat penduduk desa selalu menangis ia merasa terusik.  Bagaiamanapun cita-cita ingin bermanfaat bagi lingkungan  masih sedikit melakat pada darahnya.
hari mulai lembayung. Â Langit berubah menjadi merah mencengkam. Â Malaikat maut memperhatikan raka yang sedang memaikan golok dan tertawa sendirian di gerbang desa. Â Ingin sekali ia menghardiknya. Â Bisa-bisanya Raka tertawa terbahak-bahak saat lembayung. Â Orang-orang pergi sembayang memohon ampun dihapus dosa dan meminta dipanjangkan umur sebab wabah sedang melanda desa. Â Namun karena waktu yang begitu mepet ia tidak sempat mengampirinya. Â Tugas malaikat maut harus sesuai. Â Pada alamat yang tepat, orang yang dituju dan waktu yang pas. Â Mungkin jika disandingkan dengan kurir-kurir pengahantar paket, Â ia yang paling unggul.
Terdengar pengumuman kematian dikumandangkan di toa disusul dengan tangisan desa, tubuh Raka mulai bergetar. Â Mukanya merah melebihi lembayung.Â
"Ini pasti ulah lelaki itu," gerutu Raka. Â Ia bersumpah tidak akan tertidur sebelum menghabisi lelaki yang dianggapnya wabah. Â Â
"Trang, trang, trang." Â Suara golok bertemu tongkat besi. Â Gerakan raka yang begitu lincah, mengayunkan golok ke kiri dan ke kanan. Â Selalu begitu setiap saat malaikat maut mendatangi desa. Â Bahkan saat ia menjauhpun Raka menyusulnya dengan tembakan senapan angina. Â Malaikat maut semakin kesal. Â Baru kali ini ada seorang manusia yang berani mengusik dan mengganggu tugasnya. Â Bukan tambah berani. Â Ia menjadi ciut. Â Sebagaimana yang dia rasakan, ia adalah makhluk yang paling ditakuti, Â maka ketika ada seorang yang berani mengancamnya, maka pasti bukan sembarang makhluk. Â Ia menjadi takut mengunjungi desa tersebut, takut bertemu Raka. Â Bentrokan tak terelakan setiap kali mereka berjumpa. Â Hingga akhirnya ia mengajukan negosiasi mencari akar masalah demi mencapai kesepakatan bersama. Â Tidak ada yang dirugikan. Â Raka menyetujui tawaran itu. Â Diadakan gecatan senjata selama proses negosiasi.Â
Dengan terang benderang malaikat maut menyampaikan alasannya mengapa ia begitu kesal dengan tingkah Raka yang tidak memiliki tujuan  hidup.  Ia juga memperkenalkan diri dengan jujur tidak ada yang ditutup-tutupi bahwa ia adalah malaikat pecabut nyawa.  Demikian pun raka menerangkan tentang kisah hidupnya yang begitu perih dan mengapa pula baru-baru ini ia memburu malaikat maut.  Alasan Raka bisa dimengerti.  Sang pencabut nyawa menganggut-angukan kepalanya.  Begitu pula dengan Raka setelah dipikir, alasan malaikat maut mendatangi desa pun masuk akal.  Malaikat maut hanya menjalankan tugas.  Adapun penduduk desa yang berguguran itu adalah akibat mereka sendiri yang tidak mematuhi protokol kesehatan.  Jika dilihat lebih jauh, wabah yang melanda desa pun adalah hasil dari sebab akibat aktivitas manusia, iklim dan alam.  Semuanya masuk logika.Â
Setelah pertemuan yang dingin itu, mereka saling memaafkan.  Raka tidak mungkin mengganggu tugas yang sedang diemban malaikat maut.  Sebaliknya pun demikian.  Malaikat maut memahami apa yang dialami Raka.  akhirnya mereka berteman hingga saat ini.  Dimana pun mereka bertemu selalu bertegur sapa.  Seperti ungkapan prancis mengatakan  "Tout comprendrer est tout pardoner"  jika saling mengerti maka akan saling memaafkan.