Mohon tunggu...
Muhammad RamdanMaulana
Muhammad RamdanMaulana Mohon Tunggu... Freelancer - hanya manusia terjajah

hanya manusia yang mencoba menjadi manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kuliah Singkat Cepat Sekarat

23 Januari 2020   15:07 Diperbarui: 23 Januari 2020   15:15 1154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selaras dengan apa yang di sampaikan oleh tokoh pendidikan dari Brazil Paulo Freire pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia seutuhnya (memanusiakan manusia) agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan (penjajahan intelektual), kebodohan sampai kepada ketertinggalan (Paulo Freire). Dasarnya pendidikan memang diselenggarakan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup. Selain itu pendidikan dipahami sebagai wadah untuk menciptakan keadilan sosial dan keadilan ekonomi, pembentukan sikap & sifat, dan juga menjadi media untuk meningkatkan ketrampilan kerja.

Konsep pendidikan yang ideal ternyata didalam realitasnya hancur oleh konsep kapitalismeyang memiliki pengaruh buruk terhadap proses pendidikan di Indonesia. Permasalahan yang ditimbulkan oleh kapitalisme terhadap pendidikan di Indonesia merupakan permasalahan yang kompleks  karena telah menjalar pada kebijakan-kebijakan pendidikan yang diambil pemerintah. 

Selain itu, Keberhasikan kapitalisme dalam mempertahankan sistemnya berbanding lurus dengan terbaliknya hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang masih dipercaya sebagai upaya memanusiakan manusia justru mendehumanisasikannya seperti yang dipercaya pendidikan Indonesia pada awalnya. 

Realitanya, dosen dan birokrasi pendidikan yang korup berkualitas rendah menjadi satu kesatuan untuk membodohi dan memperkaya diri dengan mengorbankan mahasiswanya,  kampus dan dosen hanya memiliki orientasi satu, yaitu menciptakan budak-budak kapitalis, konsumtif, tidak produktif apalagi kritis.

Kampus bukan lagi menjadi sarana & wadah berkumpulnya mahasiswa dalam menggali ilmu dan  pengetahuan, tetapi berubah menjadi sebuah industri pendidikan. Contohnya, dosen yang menjadi anjing suruhan pihak rektorat dalam menjalankan kebijjakan yang tidak pro terhadap mahasiswa. Tidak hanya itu, pihak rektorat mencari keuntungan layaknya seperti penghisap uang dengan berbagai macam cara semisal Seminar wajib dengan nomisal yang sangat mahal dan mahasiswa gak dapet apa-apa, kemudian pada waktu ujian (UAS/UTS), jika mahasiswa belum mampu membayar BPP dan bayaran lainnya maka mereka tidak di izinkan untuk mengikuti ujian (UAS/UTS). 

Itulah realitas nyata kampus kita tercinta, oh malangnya mahasiswa yang menjadi korban tagline Kuliah Singkat Cepat Kerja mejadi kuliah singkat cepat melarat, anekdotnya "boro-boro mikir pelajaran, mikirin bayaran ghaib aja udah pusing"

Masalah terbaru yang sedang menjadi topic obrolan di warung kopi depan kampus adalah mengenai Klinik Spesialisasi Kompetensi (KSK),  KSK ini merupakan program penguatan kompetensi yang diperuntukan untuk angkatan 2018 dan 2019 dengan biaya yang cukp mahal, menurut saya program ini tidak perlu ada, kenapa? karna sudah ada Uji Kompetensi (UJIKOM), kemudian kampus dan dosen setiap prodi ber alibi bahwa yang diajarkan adalah pelajaran yang tidak ada di ruang kelas karna berbicara kebutuhan, jika berbicara kebutuhan sekaligus mempersiapkan mahasiswa yang siap bersaing di dalam dunia pekerjaan ya di perbaiki kurikulumnya karna disitu substansinya,  disitu yang menjadi masalah pertama bagi saya. 

Masalah kedua soal penetapan biayanya yang sangat mahal dan sangat memberatkan mahasiswa, pihak kampus bagi saya jelas sudah melanggar (UU No 12 2012 tentang perguruan tinggi Pasal 6 tentang Pendidikan tinggi di selenggrakan dengan prinsip  poin i, keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi) analisa itu yang tidak digunakan oleh kampus yang seharusnya kampus mengetahui bahwa orang tua mahasiswa Piksi Ganesha berada didalam strata ekonomi menengah kebawah dan sangat-sangat harus menjadi pertimbangan yang amat di pertmbangkan ketika ingin membuat kebijakan, lagian menurut hemat toh untuk kegiatan ekstrakulikuler toh sudah ada yaitu biaya dana kemahasiswaan dan sistem informasi (DKSI) dan sumbangan alumni. jadi buat apa lagi dipungut biaya, buat bayar dosen atau prodi? justru itu fungsi dosen untuk mengawal dan membantu memfasilitasi mahasiswa dalam pengembangan softskill dan hardskill. 

Masalah ketiga soal tidak ada dialog terlebih dahulu kepada Himpunan Mahasiswa (HIMA) yang akan menjadi pelaksana teknis, padahal jelas prinsip perguruan tinggi harus menjunjung asa demokrasi yaitu mengdepankan asas musyawarah (dialog) untuk sampai pada tahap mufakat, dan ketika pihak kampus atau direktur tidak menjunjung asas demokrasi ya mereka sedang mencoba menjadi otoriter (memaksakan kehendak sendiri) sudah barang tentu hal-hal yang berbau otoriterian harus dilawan, dan ketika HIMA mendukung kampus sudah barang tentu harus dilawan.

Penutup dari saya, jelas MENOLAK diadakannya KSK/Ekskul Wajib ini tanpa kecuali, karna gaada substansinya selain sebagai alat untuk memperkaya diri pihak kampus, mengutip bait dari puisinya Wiji Thukul, Jika usul ditolak tanpa ditimbang maka hanya ada satu kata LAWAN !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun