Mohon tunggu...
Ramdan Febrian
Ramdan Febrian Mohon Tunggu... Jurnalis - Buruh tulis

Penulis dan penerjemah. Fokus di bidang sosial dan sains.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Merawat Nilai-nilai Kesenian Kuda Renggong dari Gempuran Globalisasi

27 Februari 2020   10:05 Diperbarui: 27 Februari 2020   16:42 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyanyian khas lagu sunda yang diiringi alunan musik semi tradisional tak bisa menahan hasrat beberapa ekor kuda itu untuk menari. Hewan yang tenaganya dijadikan acuan kendaraan bermotor itu berlenggak-lenggok jingkrak-jingkrakan seirama dengan alunan musik tak ubahnya manusia.

Kuda penari itu bahkan tampak tampil maksimal. Mulai dari kepala badan sampai kaki semua dipenuhi aksesoris. Nyentrik. Sementara di atasnya duduk seorang anak kecil yang biasanya pengantin sunat. Perpaduan musik, tarian kuda, dan tarian manusia itu menjadi sebuah harmoni gelaran seni yang biasa disebut: Kuda Renggong.

Pentas Kuda Renggong berasal dari Sumedang. Seperti dituturkan Pratiwi Wulan Gustianingrum dan Idrus Affandi dalam tulisannya yang berjudul "Memaknai Nilai Kesenian Kuda Renggong dalam Upaya Melestarikan Budaya Daerah di Kabupaten Sumedang" (2016), kesenian tersebut muncul pertama kali di Desa Cikurubuk, Kecamatan Buahdua, Kabupaten Sumedang. Kata "renggong" sendiri merujuk kepada "keterampilan."

Kesenian yang sudah muncul sejak 1910 ini muncul tak lepas dari sejarah Sumedang yang menggunakan kuda sebagai alat transportasi dan alat perang. Seiring waktu berjalan, peran kuda ikut berubah dari yang hanya sekadar alat transportasi menjadi masuk ke ranah seni.

Sejarah Kuda Renggong

Ketika pertama kali melihat pentas Kuda Renggong hal itu membawa pengalaman baru yang belum pernah dilihat sebelumnya. Persepsi soal kuda sebagai hewan yang hanya diandalkan tenaganya untuk alat transportasi, ternyata juga punya fungsi lain dalam kesenian. Hal itu sejalan dengan sejarah yang  melahirkan tradisi kesenian Renggong.

Pada permulaan abad 20 itu Sumedang berada dalam pimpinan Pangeran Aria Suria Atmadja. Saat itu ia memerintah pengurus kuda keraton yakni Aki Sipan untuk melatih kuda agar mampu berbaris rapi untuk mengarak cucu sang pangeran keliling kota pada waktu acara khitanan.

Aki Sipan yang notabene warga Cikurubuk memiliki jiwa seni serta rasa cinta yang tinggi terhadap kuda mencoba berkreasi agar kuda tersebut mampu bergerak teratur sesuai perintahnya. Dengan ketekunan dan keahlian, kuda tersebut mampu mengangguk, mengangkat kaki dengan dinamis.

Kuda yang berhasil dilatih Aki Sipan itu ternyata mendapat banyak respon positif. Pada saat itu banyak masyarakat yang senang dan terhibur karena kuda yang mereka ketahui hanya mampu mengangkut dan berlari. Tak disangka-sangka ternyata kuda juga punya kemampuan menari. Dari situlah kemudian muncul istilah Kuda Renggong.

Pada perkembangannya, gerakan kuda dalam seni Kuda Renggong dikembangkan sedemikian rupa. Salah satu gerakan yang dikembangkan adalah gerakan seperti berkelahi melawan pelatih dengan gaya pencak silat. Dari perkembangan itulah muncul istilah lain dari Kuda Renggong, yakni Kuda Pencak.

Seni Kuda Renggong atau Kuda Pencak agar mampu menampilkan tontonan sekaligus tuntunan yang berkualitas memang tidak mudah. Proses memilah dan memilih kuda serta pelatihan yang tepat menjadi kunci keberhasilan. Kuda yang digunakan untuk kepentingan seni Kuda Renggong harus dipilih, dilatih, dipelihara dan diberi perawatan yang khusus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun