Nasib tragis kembali menimpa salah satu tunas bangsa yang tengah berjuang keras untuk menggapai cita-citanya. Adalah Yuyun, remaja berusia 14 tahun dan terdaftar sebagai salah satu siswi SMP di Bengkulu, ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa di sekitar kebun karet yang terletak tak jauh dari rumahnya. Yuyun diketahui menjadi korban pemerkosaan sekaligus pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tengah berada dibawah pengaruh minuman keras. Ironisnya, sebagian pelaku merupakan kakak kelas korban yang tergolong masih di bawah umur. Kejadian ini pun langsung mendapat sorotan media nasional maupun internasional.
Kejahatan yang tergolong luar biasa dan dilakukan oleh para remaja tersebut menunjukkan bahwa upaya pembentukan karakter yang dilakukan oleh pihak sekolah belum berjalan sebagaimana mestinya. Selain kurang maksimalnya “ikhtiar” yang dilakukan oleh para guru di sekolah, kondisi lingkungan yang tidak mendukung mengakibatkan penanaman nilai-nilai agama dan budi pekerti itu masih jauh panggang dari api. Minuman keras (miras) maupun tembakau yang masih dapat diperoleh dengan mudah oleh para pelajar menjadi ganjalan bagi lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini untuk dapat melahirkan generasi emas seperti yang dicita-citakan. Di samping itu beredarnya tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan maupun berbau pornografi membuat perjuangan para guru dalam mendidik calon-calon pemimpin bangsa itu pun semakin bertambah berat.
Adapun sikap pemerintah yang cenderung reaktif dalam menyikapi kasus-kasus kekerasan yang terjadi patut kita sayangkan. Pemerintah lebih mengutamakan pendekatan yuridis dalam upaya mengeliminir tingkat kejahatan yang terjadi di masyarakat daripada melakukan pendekatan sosiologis. Padahal, memperberat hukuman pelaku kejahatan tanpa disertai upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan hanya akan membuat generasi muda kita semakin terancam masa depannya. Hasil riset yang dilakukan oleh Pusat Kajian Kriminologi UI dan Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) pada tahun 2013 lalu menyebutkan bahwa 15 dari 43 narapidana anak melakukan tindak kejahatan saat mereka berada di bawah pengaruh alkohol. Artinya, orang yang sedang dalam keadaan mabuk tidak akan pernah memikirkan konsekuensi dari perbuatannya, seberat apapun itu.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa upaya pembentukan karakter hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh lingkungan yang kondusif. Dalam hal ini pemerintah sebagai regulator diharapkan mampu memainkan perannya dalam melindungi generasi muda dari berbagai gangguan yang dapat mengancam masa depan mereka. Membatasi peredaran minuman keras dan rokok, mengatur tayangan media elektronik, serta melakukan edukasi tentang pentingnya melaksanakan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan langkah-langkah strategis yang dapat diambil oleh pemerintah di samping memperberat hukuman pelaku tindak kejahatan. Selain itu peran orangtua dalam memberikan bimbingan secara maksimal pun menjadi hal yang tak boleh diabaikan begitu saja. Dengan demikian, lahirnya generasi unggul dan berkarakter pun dapat benar-benar terwujud. (Dimuat di Koran Siap Belajar, Edisi Akhir Mei 2016)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H