Mohon tunggu...
Ramdan Hamdani
Ramdan Hamdani Mohon Tunggu... Guru, Penulis -

Nama Lengkap : Ramdan Hamdani, S.Pd\r\nPekerjaan : Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial,\r\nBlog : www.lenteraguru.com\r\nNo Kontak : 085220551655

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Saat Guru Terpaksa “Mendua”

15 November 2014   01:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:48 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Rencana kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin hari kian kencang diwacanakan, membuat sebagian guru (non PNS) was-was akan keberlangsungan aktivitasnya dalam mendidik anak. Dampak kenaikan harga BBM terhadap melonjaknya harga barang kebutuhan pokok, membuat guru harus memutar otak untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Pada akhirnya, mencari penghasilan tambah di luar kelas pun dijadikan alternatif oleh para guru agar dapat bertahan hidup. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang bersiap-siap angkat kaki dari sekolah untuk kemudian mencari pekerjaan lain yang dianggap lebih menjanjikan.
Bagi seorang pendidik, mencari penghasilan tambahan di luar kelas memang sah-sah saja. Memberikan les ke rumah-rumah, berdagang, sampai dengan “rangkap jabatan” sebagai tukang ojek merupakan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh guru kita. Meskipun demikian, apa yang mereka lakukan tersebut sedikit banyak akan berpengaruh terhadap kinerjanya dalam mendidik tunas-tunas bangsa. Konsenterasi mereka pada akhirnya terbagi dua, antara mengajar dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kondisi semacam ini tentunya akan berdampak kurang baik bagi dunia pendidikan di masa yang akan datang. Semakin banyaknya guru yang hidup “mendua” dikhawatirkan akan menurunkan kualitas pembelajaran yang diberikan dan berujung pada menurunnya kualitas lulusan yang dihasilkan. Pada akhirnya, masa depan generasi bangsa ini pun terancam suram sebagai akibat dari proses pendidikan yang tidak berjalan sempurna.
Apa yang penulis gambarkan di atas sejatinya merupakan akibat dari ketidakmampuan atau bahkan ketidakmauan pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan pendidik. Sosok guru (honorer) sering kali diidentikkan dengan kemiskinan ataupun serba kekurangan. Image tersebut ternyata belum mampu ditinggalkan sekalipun rezim telah berkali-kali berganti. Anggaran untuk meningkatkan kesejahteraan pendidik rupanya (masih) dipandang sebagai beban bagi negara dan bukan investasi. Padahal, terpenuhinya kebutuhan (hidup) pendidik akan sangat mendukung upaya pemerintah dalam menyiapkan generasi penerus yang mampu melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa ini di masa yang akan datang.
Menyikapi permasalahan tersebut, sudah saatnya pemerintah benar-benar memperhatikan nasib para guru dengan sebaik-baiknya. Memberikan kemudahan kepada mereka untuk mendapatkan tunjangan tambahan merupakan langkah yang sebaiknya diambil. Bukan sebaliknya, membebani mereka dengan berbagai persyaratan yang rumit seperti dicantumkannya linieritas ijazah untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi. Bahkan, jika memungkinkan pemerintah diharapkan bersedia meluncurkan Kartu Guru Sejahtera (KGS) sebagai bentuk kepedulian negara terhadap dunia pendidikan, khususnya kesejahteraan pendidik.
Dengan hadirnya KGS tersebut, diharapkan tidak ada lagi guru yang harus “mendua” untuk memenuhi kebutuhan dapurnya. Tempat mereka adalah di kelas dan tugas utama mereka adalah mendidik anak dengan penuh dedikasi serta rasa tanggungjawab. Semua itu tentunya hanya dapat dilakukan oleh guru apabila mereka dalam kondisi sehat secara jasmani, rohani dan ekonomi.(Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, 14 November 2014)

Ramdhan Hamdani
www.pancingkehidupan.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun