Terpuruknya ekonomi Indonesia dalam dua tahun terakhir menjadi catatan tersendiri bagi pemerintahan Jokowi Widodo – Jusuf Kalla yang baru saja melakukan perombakan kabinet untuk kedua kalinya. Jokowi yang konon diklaim oleh tim suksesnya sebagai refresentasi dari masyarakat kelas bawah melalui jargonnya “Jokowi Adalah Kita”, nyatanya belum mampu mengeluarkan kebijakan strategis yang benar-benar berpihak pada rakyat yang “diwakili” nya.
Sebaliknya, berbagai kemudahan justru dinikmati oleh para konglomerat hitam yang secara nyata telah terbukti merugikan negara. Pengampunan pajak (tax amnesty) yang baru diberlakukan beberapa waktu lalu merupakan salah satu dari sekian banyak kebijakan pemerintah yang oleh sebagian kalangan dipandang kurang masuk akal.
Di sisi lain kemandirian ekonomi yang dijanjikan oleh pemerintah pun nampaknya semakin jauh panggang dari api. Alih-alih memberdayakan sumber daya yang dimilki, pemerintah justru semakin bergantung kepada negara lain dalam memenuhi berbagai kebutuhan dalam negerinya. Mulai dari barang-barang kebutuhan pokok, obat-obatan, sampai dengan tenaga kerja kasar didatangkan langsung dari luar negeri. Tak heran apabila semakin banyak pihak yang mulai meragukan komitmen pemerintah dalam melindungi kepentingan warganya.
Adapun pergantian menteri (reshuffle) yang dilakukan beberapa waktu lalu nyatanya belum mampu memuaskan ekspektasi sebagian besar masyarakat terhadap kinerja pemerintahan saat ini. Perombakan kabinet lebih terkesan sebagai upaya untuk meredam “kegaduhan” yang selama ini melibatkan para pembantu presiden daripada meningkatkan kinerja pemerintah. Tak hanya itu, diberhentikannya Menteri ESDM Archandra yang baru dua puluh hari menjabat dari kursinya semakin menunjukkan sejauh mana kapabilitas seorang “nakhoda” kapal dalam memilih awak-awak terbaik untuk membantunya mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Di lain pihak dilantiknya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan yang baru justru semakin membuka mata kita betapa rapuhnya pondasi ekonomi bangsa ini. Dengan kondisi keuangan negara yang ada saat ini, hampir mustahil bagi kita untuk membangun infrastruktur di berbagai bidang seperti yang dijanjikan oleh pemerintah.
Tak hanya itu, klaim pemerintah yang menyatakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia “baik-baik saja” seakan terbantahkan dengan semakin meningkatnya utang luar negeri yang saat ini mencapai Rp. 3.300 trliun lebih. Ironisnya, untuk menyicil utang yang sangat besar itu pemerintah justru kembali berhutang dengan bunga yang cukup tinggi. Dalam RAPBN 2017 pemerintah bahkan menganggarkan Rp.210 trilun hanya untuk membayar bunga utang.
Rapuhnya pondasi ekonomi negeri ini tentunya akan memberikan dampak luar biasa bagi generasi yang akan datang. Besarnya utang yang harus dibayarkan oleh pemerintah dipastikan akan berakibat pada terganggunya program-program strategis yang telah dicanangkan sebelumnya. Pembangunan infrastruktur di berbagai daerah guna menunjang roda perekonomian maupun mempermudah akses pendidikan akan terhambat akibat kurangnya dana yang dimiliki.
Tak hanya itu, sebagian besar rakyat Indonesia pun harus bersiap untuk menanggung beban akibat ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola negara yang kaya akan sumber daya alam ini. Untuk menutupi defisit APBN yang sangat besar itu, mencabut subsidi barang kebutuhan pokok maupun memangkas anggaran pendidikan dengan dalih efisiensi anggaran nampaknya akan menjadi “jalan pintas” yang akan diambil oleh pemerintah dalam waktu dekat.
Akibatnya, daya beli masyarakat pun dipastikan akan semakin rendah karena naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok. Di samping itu jumlah angka putus sekolah juga akan semakin bertambah seiring mahalnya biaya pendidikan serta kuatnya tuntutan orangtua agar anak membantu mereka guna menopang kehidupan keluarganya. Tak hanya itu, potensi meningkatnya angka kriminalitas dengan latar belakang ekonomi pun turut menghantui negeri yang baru saja merayakan kemerdekaannya yang ke – 71 ini.
Selain berdampak pada kehidupan ekonomi di dalam negeri, besarnya beban utang yang dimiliki oleh pemerintah juga akan berpengaruh terhadap daya tawar Indonesia dalam percaturan politik global. Ketidaktegasan pemerintah Indonesia dalam menyikapi konflik Laut Tiongkok Selatan (LTS) merupakan bukti bahwa kedaulatan bangsa yang dahulu diraih dengan penuh pengorbanan itu semakin hari kian pudar akibat ketidakmampuan pengelola negeri ini dalam melepaskan diri dari ketergantungan kepada bangsa lainnya. Pada akhirnya, Indonesia pun hanya berperan sebagai pengekor dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh negara-negara maju khususnya negara pemberi utang.
Untuk menyelamatkan bangsa yang besar ini dari penjajahan model baru, sudah saatnya pemerintah bersikap (lebih) rasional dalam mengeluarkan berbagai kebijakannya. Mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki tentunya jauh lebih bijak daripada mengandalkan “bantuan” dari luar. Di samping itu pemerintah pun hendaknya memberikan perhatian penuh pada bidang pendidikan. Hal ini dikarenakan kekuatan sebuah bangsa sejatinya bukan ditentukan oleh banyaknya kekayaan alam yang dimiliki, melainkan sejauh mana mereka mampu melahirkan manusia-manusia unggul di bidangnya.