Keputusan pemerintah untuk memaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) nampaknya sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pemerintah beralasan, subsidi yang selama ini diberikan sangat membebani APBN dan tidak tepat sasaran. Pengurangan subsidi pun akhirnya menjadi pilihan yang diambil oleh pemerintah. Adapun untuk meredam gejolak yang terjadi akibat kenaikan BBM ini, pemerintah menggulirkan berbagai program seperti Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, Kartu Keluarga Sejahtera, dan Beasiswa Siswa Miskin (BSM).
Pemerintah meyakinkan bahwa dunia pendidikan akan diuntungkan dengan adanya pengurangan subsidi BBM ini karena dana yang ada akan dialihkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Hal ini akan dibuktikan dengan bertambahnya jumlah pelajar dan mahasiswa yang memperoleh beasiswa serta meningkatnya nominal bantuan yang akan diterima oleh para pelajar yang tergolong tidak mampu. Jika kita merujuk pada APBN tahun 2013 sebelum perubahan, jumlah penerima Beasiswa Miskin untuk jenjang SD, SMP, SMA dan SMK sebanyak 5,9 juta siswa dengan nilai nominal Rp 360 ribu per siswa per tahun untuk SD, Rp 560 ribu untuk SMP, dan Rp 1 juta untuk SMA / SMK per tahun (http://kemdiknas.go.id).
Akan tetapi dalam APBN Perubahan yang baru disahkan beberapa waktu yang lalu terjadi peningkatan dimana jumlah penerima BSM ini menjadi 13,5 juta siswa dengan jumlah nominal bantuan sebesar Rp 450 ribu untuk siswa SD, Rp 750 ribu untuk SMP sedangkan untuk SMA/SMK tetap yaitu Rp 1 Juta. Namun benarkan realita dilapangan akan semanis janji-janji yang selama ini digembar-gemborkan pemerintah ? Lantas bagaimana dampak sosial ekonomi dari kebijakan pengurangan subsidi BBM ini ? Naiknya harga BBM sudah barang tentu akan mengakibatkan naiknya harga barang kebutuhan pokok sehari-hari. Makin besarnya biaya yang harus dikeluarkan memaksa orang tua untuk memutar otak untuk mencari penghasilan tambahan.
Adapun bantuan dari pemerintah yang jumlahnya tidak seberapa dan hanya berlangsung selama beberapa bulan tentu saja hanya cukup untuk ngeleketek tikoro. Dalam kondisi seperti ini, menyuruh anak meninggalkan bangku sekolah untuk kemudian bekerja membantu orang tua merupakan pilihan yang paling rasional. Data Susenas pada tahun 2011 menunjukkan, lebih dari 30 persen siswa SD tidak melanjutkan ke jenjang SMP dan lebih dari 20 persen siswa SMP tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Jumlah ini diperkirakan akan semakin meningkat seiring makin bertambahnya jumlah siswa yang memilih untuk bekerja membantu orang tua.
Berdasarkan laporan Understanding Children's Work (UCW) pada tahun 2012 menunjukkan sebanyak 2,3 juta anak berusia 7-14 tahun merupakan pekerja anak dibawah umur. Jika pada masa-masa normal saja angka putus sekolah begitu tinggi, bisa dibayangkan berapa banyak lagi anak yang akan meninggalkan bangku sekolah pada saat harga BBM dinaikkan. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, klaim-klaim yang sering didengung-dengungkan oleh pemerintah bahwa kenaikan harga BBM akan memberikan keuntungan yang besar bagi dunia pendidikan nampaknya patut dipertanyakan. Akhirnya kita pun hanya bisa berharap pemerintah masih memiliki sedikit hati nurani. Mudah-mudahan !.
Ramdhan Hamdani
www.pancingkehidupan.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H