Setelah dibuat gusar oleh polemik tentang “Makam Berhala” yang terdapat pada buku Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah, kini masyarakat kembali dibuat jengah oleh isi buku Kurikulum 2013 yang mengajarkan gaya pacaran sehat kepada peserta didiknya. Materi yang terdapat pada buku PJOK untuk kelas XI SMA tersebut secara gamblang menjelaskan rambu-rambu yang harus diperhatikan oleh remaja saat mereka menjalin hubungan. Hal ini perlu dilakukan agar mereka terhindar dari dampak seks bebas yang saat ini semakin memprihatinkan. Tak hanya itu, pada materi tersebut terdapat pula gambar kartun seorang laki-laki yang mengenakan baju koko serta seorang perempuan yang memakai jilbab. Gambar tersebut seakan ingin memberikan kesan bahwa pacaran memang diperbolehkan asalkan dilakukan secara islami.
Sesaat setelah beredarnya buku “sesat” tersebut, reaksi pun bermunculan, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut MUI, buku dengan tema pacaran tersebut sama sekali tidak memberikan nilai pendidikan pada siswa. Sebaliknya, buku yang kadatangannya sempat mengalami beberapa kali keterlambatan tersebut, secara tidak langsung mengarahkan peserta didik untuk mendekati zina. Oleh karenanya MUI pun meminta pemerintah untuk berhati-hati dalam menyusun buku yang akan digunakan oleh siswa.
Berbagai persoalan buku ajar yang menyelimuti pelaksanaan kurikulum baru tersebut sejatinya tak dapat dilepaskan dari ketidaksiapan pemerintah dalam melaksanakan janji-janjinya. Buku yang terlambat datang, jumlah yang tidak sesuai dengan pesanan sampai dengan materi yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, merupakan bukti bahwa pemerintah belum siap dalam menyediakan sarana penunjang yang memadai bagi terlaksananya “proyek mercusuar” nya. Tak hanya itu, “tragedi” yang terjadi di awal tahun pelajaran tersebut telah menimbulkan konflik antara pihak sekolah dengan orangtua.
Untuk mencegah terulangnya kejadian serupa, diperlukan pengawasan yang baik dari pemerintah terhadap penyusunan buku ajar tersebut. Quality Control (QC) hendaknya benar-benar dilakukan untuk mengantisipasi lolosnya materi yang tidak sesuai. Buku yang telah selesai disusun sebaiknya tidak langsung digandakan, namun diperiksa terlebih dahulu kelayakannya oleh tim khusus yang disiapkan oleh Kemendikbud. Selain itu guru-guru yang akan mengajar pun diharapkan aktif melakukan penilaian terhadap isi buku sebelum membagikannya kepada siswa. Dengan begitu konten buku ajar pun dapat dipertanggungjawabkan kualitasnya kepada masyarakat.
Dengan adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah serta masukan dari para guru, diharapkan tidak ada lagi buku ajar yang bermasalah. Adapun untuk buku bermasalah yang terlanjur dibagikan kepada siswa, pemerintah sebaiknya tidak ragu untuk menariknya dari peredaran. Dengan demikian, kerusakan moral remaja sebagai akibat dari konten buku yang tidak semestinya tersebut dapat dihindari. (Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat, Edisi 13 Oktober 2014)
Ramdhan Hamdani
www.pancingkehidupan.com