Tuntutan agar sekolah menumbuhkan budi pekerti di kalangan peserta didiknya kembali disuarakan oleh masyarakat maupun praktisi pendidikan yang merasa prihatin dengan kondisi dunia remaja saat ini. Lunturnya nilai-nilai kesantunan, adat istiadat serta penghormatan kepada sesama ataupun orang yang lebih tua nyatanya semakin hari kian menggejala dan berpotensi merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat. Tak hanya itu, anak yang tumbuh tanpa disertai dengan penanaman nilai-nilai budi pekerti itu dikhawatirkan akan "bermetamorfosa" menjadi pribadi - pribadi yang cenderung mementingkan diri sendiri apabila kelak dipercaya untuk memimpin negeri ini.
Itulah sebagian pesan yang penulis tangkap saat membaca Tajuk Rencana berjudul "Menyoal Budi Pekerti" yang dimuat harian umum Pikiran Rakyat edisi 26 september 2017. Peningkatan kompetensi guru pun lagi-lagi menjadi sebuah keniscayaan dalam upaya membentuk karakter anak sesuai dengan karakteristik mereka saat ini. Pesatnya perkembangan teknologi informasi memang memaksa para guru untuk lebih memahami cara "berkomunikasi" dengan anak didiknya yang lebih dikenal sebagai generasi millennial itu.
Di lain pihak, berkurangnya penggunaan bahasa ibu dalam lingkungan keluarga menjadi persoalan tersendiri yang patut disikapi secara (lebih) serius. Fenomena semacam ini bukan hanya akan mengancam eksistensi bahasa daerah di kemudian hari. Lebih dari itu, proses penanaman nilai-nilai yang tersirat dalam penggunaan bahasa ibu dipastikan akan terhenti seiring menurunnya jumlah penutur bahasa tersebut.
Di Jawa Barat sendiri, basa sunda tidak hanya sebatas digunakan untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Melalui bahasa yang digunakan, anak sejatinya tengah dididik untuk mampu menghormati orang lain dengan senantiasa memperhatikan lawan bicara mereka. Adanya kosakata seperti dahar, nedaserta tuang membuktikan bahwa bahasa ibu memiliki peran besar dalam proses penumbuhan budi pekerti terutama di lingkungan keluarga.
Sayangnya, hal ini kurang begitu disadari oleh para orangtua yang hidup di era "modern" seperti saat ini. Sebagian masyarakat mulai meninggalkan bahasa ibu mereka dan merasa bangga manakala melihat anak-anaknya berkomunikasi menggunakan bahasa asing. Hari ini kita sering menemukan anak -- anak di Jawa Barat yang tidak mengetahui arti dari kata panangan, sampean ataupun pangsujudan sekalipun ayah berasal dari Garut dan ibu lahir serta tumbuh di Cililin. Tak heran apabila degradasi moral di kalangan remaja pun semakin hari kian menjadi seiring tercabutnya bahasa ibu dari akar-akarnya.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa ibu utamanya dalam lingkungan keluarga memiliki peran penting dalam upaya penumbuhan budi pekerti di kalangan peserta didik. Dalam hal ini pihak sekolah hendaknya mampu merangkul para orangtua untuk berperan aktif dalam proses penanaman nilai -- nilai melalui penggunaan bahasa ibu saat anak berada di rumah. Dengan demikian, upaya untuk menumbuhkan budi pekerti pun dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya dan tidak lagi berjalan secara parsial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H