Janji pemerintahan Jokowi – JK untuk membentuk sebuah badan khusus untuk menangani berbagai persoalan yang menyangkut kepentingan guru, akhirnya dapat direalisasikan. Beberapa waktu lalu presiden mengeluarkan Perpres Nomor 14 Tahun 2015 Tentang Struktur Organisasi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Berdasarkan peraturan tersebut, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan resmi menjadi sebuah badan baru yang berada langsung di bawah Kemendikbud. Dengan dibentuknya Dirjen baru tersebut, diharapkan tata kelola guru serta tenaga kependidikan pun dapat dilakukan dengan lebih baik.
Lahirnya sebuah badan (pemerintah) yang benar-benar mampu melayani berbagai kebutuhan pendidik dan tenaga kependidikan memang telah lama dinanti-nantikan. Hal ini dikarenakan lembaga yang ada (dianggap) belum bekerja maksimal dalam mengelola salah satu aset bangsa tersebut. Berbagai permasalahan dunia pendidikan terutama yang menyangkut kepentingan guru maupun tenaga kependidikan, seakan menjadi pekerjaan rumah dari setiap rezim yang diwariskan secara turun-temurun. Oleh karena itu, dengan dibentuknya lembaga baru tersebut, diharapkan mampu mengurai benang kusut tata kelola guru di republik ini.
Bagi kalangan guru maupun tenaga kependidikan sendiri, ada empat persoalan besar yang hingga kini belum dapat diselesaikan dan sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan secara keseluruhan. Pertama, rendahnya kualitas guru. Riset yang dilakukan oleh Bank Dunia terhadap 12 negara di Asia , tmenempatkan Indonesia sebagai negara dengan kualitas guru paling rendah. Adapun tidak meratanya kemampuan, kesejahteraan serta penyebaran guru disinyalir sebagai penyebab utama rendahnya kualitas guru tersebut. Padahal jika dilihat dari segi kuantitas, jumlah guru yang ada di Indonesia telah memenuhi standard yang ditetapkan oleh UNESCO, yaitu satu orang guru menangani 18 orang siswa.
Kedua, rendahnya kesejahteraan guru. Adanya fenomena “rangkap jabatan” di kalangan guru merupakan bukti bahwa hingga saat ini pemerintah belum mampu memberikan kesejahteraan kepada guru secara layak sesuai amanat undang-undang. Kesibukan guru di luar kelas seperti ngojeg maupun berdagang tentunya akan berpengaruh terhadap kinerja mereka. Hal ini dikarenakan, tugas seorang guru tidak hanya mengajar di kelas, namun juga melakukan perencanaan pengajaran serta evaluasi terhadap hasil belajar peserta didiknya.
Ketiga, penyebaran guru yang tidak merata. Program Penataan dan Pemerataan Guru (PPG) berstatus PNS yang dicanangkan oleh pemerintah beberapa waktu lalu, hingga kini belum juga membuahkan hasil. Adapun desain kebijakan yang kurang teraplikasi disinyalir sebagai penyebab utama gagalnya program PPG tersebut. Selain itu tidak adanya sanksi tegas bagi daerah yang tidak menjalankan aturan sesuai ketentuan, mengakibatkan tata kelola guru di negeri ini berjalan tanpa arah yang jelas.
Keempat, adanya kesenjangan antara tenaga pendidik dan kependidikan. Program sertifikasi yang hanya diberlakukan bagi tenaga pendidik, mengakibatkan terjadinya kecemburuan sosial di dalam lingkungan sekolah. Tenaga kependidikan seperti staff Tata Usaha maupun bendahara sekolah seakan dipandang sebagai warga “kelas dua” yang harus rela menjadi penonton di saat para pendidik menikmati berbagai tunjangan maupun program peningkatan kompetensi. Jika dibiarkan, kondisi semacam ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap kualitas layanan pendidikan yang diberikan kepada masyarakat.
Keempat persoalan di atas sejatinya merupakan ujian pertama bagi Dirjen Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Kiprah lembaga baru tersebut dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan tenaga pendidik dan kependidikan, akan menentukan eksistensinya di masa yang akan datang. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah membuktikan bahwa pembentukan lembaga baru di bawah Kemendikbud tersebut merupakan keputusan yang tepat.
Ramdhan Hamdani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H