Setelah ditempa kasus plagiarisme yang dilakukan oleh beberapa dosen di perguruan tinggi, kini wajah dunia pendidikan kembali tercoreng akibat ulah sebagian oknum guru yang sengaja memalsukan ijazah untuk keperluan sertifikasi. Kedua berita tersebut cukup menarik perhatian masyarakat selama dua pekan terakhir khususnya kalangan pendidik disamping berita penangkapan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh KPK karena tertangkap tangan menerima suap.
Apa yang terjadi saat ini pada dasarnya telah memudarkan keyakinan sebagian masyarakat akan hadirnya pendidikan yang mencerahkan dan hadirnya sosok-sosok pemimpin yang jujur dan amanah. Pendidik yang sejatinya berada di garda terdepan dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran harus rela menggadaikan imannya demi selembar sertifikat maupun gelar. Adapun hakim yang sejatinya berperan sebagai “wakil tuhan” di bumi dan bertugas memberikan keadilan pada akhirnya harus tumbang karena rayuan takhta dan harta.
Kasus-kasus luar biasa tersebut antara lain disebabkan adanya anggapan sebagian besar masyarakat kita bahwa pendidikan karakter hanya berlaku bagi siswa dan tidak untuk pendidik. Selain itu proses pendidikan (karakter) yang selalu diidentikkan dengan lembaga pendidikan formal sesungguhnya telah mereduksi proses pendidikan (karakter) itu sendiri. Akibatnya, nilai-nilai kejujuran yang ditanamkan selama proses pendidikan (karakter) di sekolah seolah hilang tak berbekas manakala seseorang memasuki lingkungan barunya.
Lingkungan keluarga, masyarakat serta lingkungan kerja sebenarnya dapat dijadikan sarana pendidikan karakter lanjutan sekaligus tempat untuk mengamalkan nilai-nilai pendidikan karakter yang selama ini diajarkan di sekolah. Jika ketiga lingkungan tersebut sehat, bisa dipastikan akan mampu membentuk karakter seseorang dengan baik. Sebaliknya jika seseorang berada dilingkungan yang tidak sehat secara moral, akan sulit baginya untuk mempertahankan sifat-sifat baiknya.
Dengan adanya kasus-kasus semacam ini semakin menambah keyakinan kita bahwa pendidikan karakter sejatinya tidak mengenal tempat, kasta dan profesi. Pendidikan karakter tidak (boleh) berhenti saat seseorang mendapatkan selembar ijazah karena telah menempuh jenjang pendidikan tertentu atau karena seseorang telah berhasil menduduki jabatan tertentu. Sebaliknya pendidikan karakter harus terus ditanamkan selama nyawa masih dikandung badan.
Ramdhan Hamdani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H