Adanya pihak yang mengklaim bahwa wajah dunia pendidikan kita semakin membaik hanya karena pemerintah telah berhasil merealisasikan anggaran untuk bidang pendidikan sebesar 20 persen dari APBN nampaknya perlu kita pertanyakan. Pada tahun 2014 ini The Learning Curve Pearson, sebuah lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, ternyata menempatkan Indonesia pada posisi juru kunci.
Dengan indeks - 1,84, Indonesia bertengger di urutan ke – 40, paling rendah se- Asia Tenggara serta berada di bawah Meksiko, Brazil dan Kolumbia. Hal ini tentu saja menjadi sebuah ironi ditengah semakin meningkatnya anggaran pendidikan dari waktu ke waktu. Pada tahun ini saja anggaran untuk pendidikan naik sebesar 7,5 persen dari Rp 345,3 triliun menjadi Rp 371,2 triliun atau setara dengan 20,67 persen APBN.
Jika kita cermati lebih jauh, pokok permasalahan dari carut – marutnya politik anggaran tersebut terletak pada pembagian porsi yang tidak seimbang antara gaji pendidik dan infrastruktur yang dibutuhkan. Dari total anggaran yang disediakan, ternyata 70 persennya habis digunakan untuk gaji guru ditambah dengan dana sertifikasi serta tunjangan lainnya. Celakanya lagi, tunjangan sertifikasi yang selama ini diterima oleh para pendidik tersebut tidak berbanding lurus dengan peningkatan kinerja mereka. Program sertifikasi yang dilaksanakan selama ini baru mampu meningkatkan “taraf hidup” pendidik dan meningkatkan minat masyarakat untuk menjadi seorang pendidik.
Akibatnya, kebutuhan untuk meningkatkan mutu infrastruktur serta pemerataan kualitas pendidikan pun tidak terpenuhi. Banyaknya gedung sekolah yang rusak seakan menjadi pemandangan biasa yang sering kita jumpai terutama di daerah. Tak hanya itu, sebagian dari anak-anak kita bahkan harus mempertaruhkan nyawanya untuk sampai ke sekolah dikarenakan beratnya medan yang harus ditempuh.
Menyikapi kondisi semacam ini, diperlukan sebuah politik anggaran yang benar-benar berorientasi pada peningkatan kualitas pendidikan. Anggaran pendidikan sejatinya tidak dijadikan “komoditi politik” oleh pihak-pihak tertentu demi kepentingannya untuk meraih simpati masyarakat. Politik pencitraan yang selama ini dilakukan oleh (oknum) politikus telah terbukti menyengsarakan rakyat dengan mendorong mereka agar jatuh ke lubang yang sama.
Selain itu pengawasan secara professional pun mutlak dilakukan untuk mencegah terjadinya kebocoran. Anggaran untuk keperluan pengadaan barang, buku paket serta pelaksanaan Ujian Nasional (UN) merupakan anggaran yang sangat rawan terhadap terjadinya tindak pidana korupsi.
Adapun untuk meningkatkan kinerja pendidik, penilaian berbasis kinerja pun sudah saatnya benar-benar diberlakukan. Tunjangan tambahan sebaiknya hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar menunjukkan kinerja yang baik. Dengan demikian setiap pendidik pun diharapkan akan berlomba untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat.
Melalui berbagai upaya tersebut kita berharap pendidikan berkualitas pun benar-benar dapat diwujudkan. Dengan begitu besarnya anggaran yang bersumber dari uang rakyat tersebut tidak terbuang sia-sia.
Ramdhan Hamdani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H