Pelaksanaan Kurikulum 2013 yang diterapkan di seluruh sekolah pada tahun ini nampaknya mulai menunjukkan tanda-tanda kegagalan. Itulah yang diungkapkan oleh Divisi Monitoring ICW ketika mengisi diskusi bertemakan “Tanda-Tanda Kegagalan Kurikulum 2013” bersama beberapa praktisi pendidikan di Jakarta beberapa waktu lalu. Adapun ketidaksiapan guru dalam mengajar serta belum tersedianya infrastruktur sekolah secara memadai disinyalir sebagai penyebab utama kandasnya “proyek mercusuar” Kemendikbud tersebut. Selain itu pergantian rezim pemerintahan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat, tentunya akan berpengaruh terhadap keberlangsungan kurikulum yang baru seumur jagung ini.
Berdasarkan hasil temuan ICW di lapangan, kebanyakan guru masih kebingungan dalam mengajar menggunakan kurikulum baru tersebut. Hal ini dapat dimaklumi mengingat waktu yang disediakan untuk pelatihan cukup singkat dan terkesan mendadak. Bahkan hingga saat ini masih banyak guru-guru yang belum mendapatkan pelatihan. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang justru lebih sibuk dengan aktivitasnya dalam mempersiapkan administrasi pembelajaran daripada mengajar siswanya. Pada akhirnya metode mengajar dengan sistem CBSA (Cul Budak Sina Anteng) pun kembali menjadi pilihan para guru saat ini.
Di sisi lain buku ajar yang dijanjikan oleh pemerintah ternyata terlambat datang. Sekolah pun terpaksa harus mengeluarkan biaya ekstra untuk menggandakan buku secara mandiri. Bahkan tidak sedikit orangtua siswa yang harus mengeluarkan uang cukup besar untuk mencetak sendiri buku pegangan siswa dikarenakan keterbatasan dana yang dimiliki oleh sekolah. Slogan pemerintah yang mengatakan bahwa Kurikulum 2013 lebih mempermudah guru dan orangtua pun tidak terbukti di lapangan. Sebaliknya, program pemerintah yang tidak jelas keberlangsungannya tersebut malah ngaririweuh sarerea.
Untuk mengurai benang kusut ini, diperlukan itikad baik dari pemerintah untuk menerapkan kurikulum 2013 ini bagi sekolah-sekolah yang benar-benar siap saja. Hal ini dikarenakan kondisi guru maupun infrastruktur di setiap daerah tidaklah sama. Kebijakan Kementrian Agama yang menerapkan kurikulum baru bagi sekolah-sekolah di bawahnya secara bertahap hingga tahun 2016, selayaknya dijadikan contoh oleh Kemendikbud. Sikap Kemenag yang lebih memilih untuk mempersiapkan terlebih dahulu guru dan sekolah secara matang daripada memberlakukan kurikulum baru secara serentak patut kita apresiasi.
Adapun untuk menghindari terulangnya keterlambatan buku ajar, pemesanan buku kepada penerbit sebaiknya dilakukan langsung oleh pemerintah dan tidak melibatkan pihak sekolah. Hal ini perlu dilakukan untuk lebih mempermudah pengawasan dalam proses penggandaannya. Selain itu pemerintah pun diharapkan lebih memberdayakan perusahaan-perusahaan percetakan yang ada di daerah untuk memperlancar proses disribusi serta mengurangi biaya produksi. Dengan begitu buku ajar dapat diterima oleh guru maupun siswa sesuai dengan waktu yang telah ditentukan sebelumnya.
Melalui upaya – upaya tersebut, kita berharap kurikulum 2013 ini benar-benar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian tidak ada lagi pihak yang dirugikan karena ketidakmampuan pemerintah dalam memberikan layanan pendidikan terbaik bagi rakyatnya. (Dimuat di Harian Umum Pikiran Rakyat Edisi 04 September 2014)
Ramdhan Hamdani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H